Mohon tunggu...
Alim Hanafi
Alim Hanafi Mohon Tunggu... -

Complicated Theory \r\nngopijoss.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Let’s Fix Our Phone Rights “Cukup Sudah Konsumen Menjadi Korban industri Telekomunikasi”

20 Maret 2014   01:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:44 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anda memiliki handphone? Ya, kita tahu alat komunikasi dan informasi di era modern ini, sudah menjadi kebutuhan pokok setiap orang, tak peduli itu kelas atas ataupun bawah. Namun ironisnya, tidak sedikit dari kita yang sebagai konsumen mendapat perlakuan tidak menyenangkan seperti, pencurian pulsa, kualitas jaringan yang tidak memuaskan, data privacy yang tak terjamin keamanannya, sms sampah, kasus penipuan, hingga penyadapan. Lalu siapakah yang bertanggung jawab : Mari kita coba telusuri beberapa faktor dibalik semua keironisan ini A. Terlalu banyaknya operator yang beroperasi di Indonesia Diketahui ada 10 operator yang beroperasi di Indonesia dan mayoritas didominasi kepemilikan asing, sehingga membuat kualitas jaringan yang diterima pelanggan jadi menurun karena kurangnya spectrum frekuensi yang memadai, sehingga tidak menjadikan telekomunikasi di Indonesia sebagai tuan rumah di negri sendiri. Seperti yang diimbau Tantowi Yahya anggota Komisi I DPR, “Saya melihat jumlah operator di Indonesia terlalu banyak. Di luar negri cuma tiga. Maksimal 4 operator. Perlu penyerdehanaan dalam rangka efisiensi penggunaan frekuensi dengan meminta yang kecil bergabung dengan yang besar.” (detikINET, Senin 24/6/2013) Kekurangan resource yang memadai untuk frekuensi ini pada akhirnya membuat penyelanggaraan ekspansi jaringan menjadi terhambat. Contohnya, penataan ulang pita lebar seluler 3G yang susah, apalagi untuk 4G yang berbasis LTE. B. Kepemilikan saham asing di industri komunikasi Indonesia Seperti diketahui, 35% saham Telkomsel dikuasai Singapore Telecom (SingTel), Indosat 65% dikuasai oleh Ooredo (dulu bernama Qatar Telecom), dan XL 86,49% sahamnya dikuasai oleh Axiata dari Malaysia. Sedangkan Tri Indonesia 65% dikuasai oleh Hutchison dari Hongkong, dan Axis 84% sahamnya dikuasai oleh Saudi Telecom Company(STC) dan sisanya dikuasai oleh Maxis Communication Berhad dari Malaysia. Menurut pengamat telekomunikasi Yustiman Ihza, kepemilikan saham asing ini perlu diperhatikan lebih serius. Sesuai teori “information is power”, artinya siapa yang menguasai dan memiliki informasi akan memiliki kekuasaan untuk mengawasi. Sebagai contoh, pernyataan ini menaggapi adanya penyadapan yang dilakukan pemerintah Australia terhadap presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Akses utama saluran telekomunikasi international melalui pemerintah Singapura yang dimiliki operator SingTel(yang diketahui menguasai 35% saham Telkomsel yang memiliki pelennggan terbesar di Indonesia) dan Kementrian Pertahanan menjadi kunci dalam ekspansi intelejen Australia dan Singapura dalam 15 tahun terakhir,” ujar Yustiman (TRIBUNNEWS.COM Kamis 28/12/2013) Menurutnya, kasus penyadapan ini menjadi bahan evaluasi pemerintah dalam menata kepemilikan asing dalam industri komunikasi. C. Buruknya sistem dan layanan komunikasi Yang satu ini dampaknya sering kita alami setiap hari, kegagalan system dan layanan yang sering kali merugikan sebagian besar konsumen, bahkan tidak sedikit dari kegagalan tersebut terjadi karena memang disengaja sehingga terdapat unsur “modus” didalamnya. Contohnya saja “pencurian pulsa” seperti yang pernah dilansir di Koran Tempo 2010 oleh YLKI; Ada dua mudus dominan dalam “pencurian” pulsa, yaitu melalui bisnis conten dan penawaran nada sambung pribadi. Sebagai ilustrasi, berikut pengalaman salah satu konsumen pemegang nomor 0818767xxx . Pada 5/12/09 menerima SMS dr 1818 : “ anda akan dikenakan biaya berlangganan setelah 7 hari. Utk daftar lagu lain kirim RBT ke 1818. kirim unsub ke 1818 utk berhenti. Selanjutnya ada 12/12/09 menerima SMS dr 1818 ; “ terima kasih masa berlangganan  RBT Anda telah diperpanjang utk 30 hari ”.Untuk perpanjangan masa berlangganan ini pelanggan dikenakan biaya berlangganan RBT  sebesar Rp 5.500. ketentuan besarnya tarif ini sebagaimana diinfirmasikan pada website . Setelah mengadu secara tertulis kepada operator, diperoleh jawaban sbb : (1) Program free RBT kepada seluruh pelanggan sdh dihentikan efektif per 12 Des 2009; (2) Pelanggan diberikan gratis RBT untuk periode 7  hari. Pelanggan akan dikirimkan SMS notifikasi reminder 3 hari sebelum periode 7 hari berakhir ; (3) Setelah dilakukan pengecekan, ternyata pelanggan tidak menerima SMS notifikasi reminder dimaksud ( kegagalan system ); (4) Pada 17/12/09 operator melakukan proses pengembalian pula pelanggan No. 0818767xxx sebesar Rp 6.050 dan menonaktifkan RBT pada no pelanggan dimaksud; Atas jawaban operator tersebut ada sejumlah catatan : (1) Syarat dan ketentuan silahkan kunjungi website. Tidak semua konsumen punya akses internet;(2) Negatif  option. kirim unsub ke 1818 utk berhenti. Sudah waktunya dilarang; (3) Kegagalan system tanggung jawab siapa ? Haruskah konsumen menanggung risiko dari sebuah kegagalan system operator ? (4) Operator melakukan proses pengembalian pula pelanggan No. 0818767xxx sebesar Rp 6.050. Bagaimana  dengan nasib konsumen yg tidak mengadu? Kami rasa modus ini masih berlanjut dengan bentuk yang berbeda seperti paket promo sms, internet, telpon dll. Sebagai contoh lagi, yaitu buruknya system terutama dalam verifikasi data pribadi dalam registrasi kartu SIM dan pembuatan rekening bank, sehingga orang dapat gonta-ganti nomor dan buka-tutup rekening bank sesuka hati, jadi kita tak perlu memberikan data yang valid, dan kesempatan ini sering diambil orang-orang tidak bertanggung untuk melaksanakan aksi criminal seperti penipuan. Lagi pula jika kita memberi data pribadi kita belum tentu terjamin keamanan dan kerahasiaannya. Maka tidak jarang jika kita mendapat sms-sms sampah, konten-konten, iklan-iklan penipuan, dll. Dari manakah mereka mendapat nomor kita? Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang. Dan masih banyak lagi yang mungkin kta belum ketahui. Cukup sudah kita sebagai konsumen mendapat perlakuan tidak terpuji dari mereka, terutama operator seluler. Kartu SIM seluler bagai virus di handpone kita yang selalu menggerogoti dari dalam. Sudah saatnya untuk melindungi konsumen. Sehendaknya pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap bisnis yang sangat menguntungkan di atas penderitaan konsumen ini. Mereka harus melihat sektor telekomunikasi sebagai hal strategis dan berdimensi keamanan nasional lalu membenahi system yang masih karut marut ini. Meski tidak mudah, setidaknya kita berusaha memperbaiki sebaik mungkin demi menekan munculnya kejadian-kejadian yang tidak diharapkan. Dan juga, Dengan jumlah penduduk 240 juta jiwa seharusna bisa dijadikan bargaining bagi Pemerintah untuk mecari investor di industri telekomunikasi yang memiliki komitmen melindungi konsumen dan bersikap lebih tegas terhadap investor hitam dalam industri telekomunikasi di Indonesia. Salam Konsumen

:)
:)
Sumber : detik.com, Koran Tempo 2010, tribunnews.com, dll. baca juga : Hati-Hati dengan Juple (Juru penipuan telepon)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun