gizi, tetapi juga menyiratkan pergeseran paradigma tentang pola makan sehat di Indonesia.
Keputusan pemerintah untuk tidak menjadikan susu sebagai komponen wajib dalam program "Makan Bergizi Gratis" menuai beragam tanggapan. Pilihan menggantinya dengan tahu, tempe, atau kacang-kacangan tidak hanya menunjukkan fleksibilitas dalam pemenuhan kebutuhanDalam sudut pandang gizi, susu memang dikenal sebagai sumber protein, vitamin, dan mineral yang baik. Namun, bukan berarti alternatif lain seperti tahu dan tempe kalah unggul. Tempe, misalnya, mengandung protein tinggi, serat, dan probiotik alami yang baik untuk pencernaan. Fakta ini membuktikan bahwa makanan lokal bisa menjadi jawaban atas tantangan pemenuhan gizi di berbagai wilayah.
Yang menarik, langkah ini tidak hanya berdampak pada kesehatan masyarakat, tetapi juga menyentuh isu keberlanjutan dan pemberdayaan ekonomi lokal. Dengan memprioritaskan bahan pangan lokal, pemerintah secara tidak langsung mendukung petani dan produsen tempe serta tahu. Ini selaras dengan semangat keberlanjutan yang terus digemakan di tengah tantangan ekonomi global.
Namun, ada hal yang perlu menjadi perhatian. Pendidikan gizi menjadi kunci agar masyarakat memahami bahwa kualitas gizi tidak hanya tergantung pada susu. Kampanye yang efektif dan berbasis bukti diperlukan untuk mengubah persepsi masyarakat yang cenderung menganggap susu sebagai makanan "superior."
Selain itu, program ini bisa menjadi inspirasi bagi negara lain. Di tengah krisis pangan global dan kenaikan harga susu di pasar internasional, Indonesia menunjukkan bahwa keberlanjutan dapat diwujudkan melalui kearifan lokal. Mengutamakan bahan pangan lokal bukan sekadar langkah hemat, tetapi juga cerminan kemandirian bangsa.
Pada akhirnya, keputusan ini mengingatkan kita untuk tidak terpaku pada satu sumber nutrisi saja. Sebagai masyarakat yang kaya akan ragam pangan, sudah saatnya kita memberi tempat yang lebih besar bagi tempe, tahu, dan kacang-kacangan sebagai pilar ketahanan pangan dan kesehatan nasional. Ini bukan hanya tentang apa yang kita makan, tetapi juga tentang bagaimana kita memaknai makanan sebagai bagian dari solusi masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H