Peran Guidelines for Nuclear Deterrence & Nuclear Operations Amerika Serikat dengan Korea Selatan dalam mengatasi ancaman nuklir di Semenanjung Korea
Permasalahan nuklir Korea Utara merupakan permasalahan yang sudah lama terjadi di Semenanjung Korea, hal ini tidak terlepas dari sejarah antara Korea Utara dengan Korea Selatan di masa lampau. Tepatnya pada tanggal 12 Agustus 1945, Uni Soviet berhasil menguasai Korea Utara hanya dalam kurun waktu 4 hari sejak mereka mendaratkan pasukannya di Manchuria. Kabar tersebut pun pada akhirnya sampai ke "telinga" lawan, tidak lain tidak bukan adalah Amerika Serikat. Sampainya kabar tersebut, mendorong Presiden AS yang jabatannya pada saat itu dipegang oleh Harry S. Truman untuk membagi wilayah dengan menetapkan garis perbatasan antara Korea Utara dengan Korea Selatan. Dan perlu dicatat bahwa tindakan AS ini terjadi pada masa Perang Dingin akibat konflik ideologi, sekaligus menunjukkan latar belakang adanya perbedaan politik yang terjadi di wilayah Korea.
Kemudian pada tahun 1947, permasalahan reunifikasi wilayah Korea dibawa ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Organisasi Internasional ini memang bersifat "netral", tetapi PBB sempat menunjukkan sikap yang lebih condong ke Amerika Serikat. Hal tersebut dapat terlihat dari pengajuan rancangan resolusi yang mendesak komite politik dan keamanan Majelis Umum PBB untuk membentuk pemerintah nasional dan majelis sekaligus desakan terhadap diadakannya pemilihan di Korea serta penarikan pasukan asing hingga membentuk komisi sementara PBB bagi Korea, resolusi ini diajukan delegasi Amerika Serikat di PBB pada tanggal 28 Oktober 1947. Dan pada tahun yang sama, delegasi Uni Soviet turut mengajukan rancangan resolusi ke PBB. Sayangnya, Majelis Umum PBB menolak rancangan resolusi Uni Soviet pada tanggal 14 November 1947. Tidak hanya itu, AS mengajukan rancangan resolusi lagi dan tentunya mendesak PBB agar Pemilihan Umum Korea diadakan secara terpisah. Ajaibnya, rancangan resolusi yang diajukan pada tanggal 19 Februari 1948 ini hanya membutuhkan 1 minggu bagi PBB untuk menerima pengajuan tersebut. Dan pada akhirnya, terbentuklah Republic of Korea (Korea Selatan) pada tanggal 15 Agustus 1948 yang diikuti dengan menempatkan John J. Muccio sebagai Duta Besar pertama bagi AS di Korea Selatan. Kabar berdirinya Korea Selatan mendorong Korea wilayah Utara untuk membentuk Democratic People Republic of Korea (Korea Utara) pada tanggal 9 September 1948 dan tentunya mendapat dukungan dari Uni Soviet melalui penunjukkan Kolonel Shytkov sebagai Duta Besar Pertama bagi Uni Soviet di Korea Utara. Singkatnya, PBB menyetujui 2 rancangan resolusi AS dan tidak menyetujui 2 rancangan resolusi Uni Soviet dalam kurun waktu selama 4 bulan memperlihatkan seberapa untungnya AS dengan Korea Selatan. Keberpihakkan PBB terhadap AS, turut menghambat upaya-upaya reunifikasi Korea dan hal ini tetap terjadi dari tahun 1947 sampai tahun 1960. Bahkan Majelis Umum PBB menunjukkan dukungan mereka terhadap Korea Selatan melalui resolusi yang berisikan pengakuan bahwa Korea Selatan merupakan satu-satunya pemerintah di Semenanjung Korea dan pemerintahannya dianggap sah, resolusi ini dikeluarkan pada tanggal 12 Desember 1948.
Dari kecondongan PBB terhadap Amerika Serikat dalam permasalahan reunifikasi Korea yang tentunya berpihak kepada Korea Selatan, membuat Korea Utara menuntut PBB untuk mendapatkan hal yang sama seperti pengakuan PBB terhadap Korea Selatan. Sayangnya, permintaan Korea Utara tidak didengar oleh PBB yang mengakibatkan Korea Utara mulai meningkatkan keamanan negara mereka sekaligus berupaya untuk merebut Korea Selatan melalui "tindakan militer" dan berujung dengan terjadinya "Just War of Fatherland" (Perang Adil Tanah Air) dengan melakukan penyerbuan wilayah ke Korea Selatan secara masif. Hal tersebut membuat Amerika Serikat ikut campur untuk membantu Korea Selatan karena menganggap bahwa tindakan Korea Utara dilatarbelakangi oleh kampanye Stalin yang berambisi untuk melakukan conquest (menaklukkan) dunia. Dewan Keamanan PBB pun turut mendesak Korea Utara untuk menarik seluruh pasukannya dari Korea Selatan hingga mendesak seluruh anggota PBB untuk "membantu" Korea Selatan melalui 2 resolusi pada tanggal 25 Juni 1950 dan 27 Juni 1950 karena Korea Utara dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap Piagam PBB khususnya dalam prinsip-prinsip perdamaian. Tentunya, keberpihakkan PBB tidak menguntungkan Korea Utara yang didukung oleh Uni Soviet hingga pasukan Korea Utara memutuskan untuk mundur.
Seiring berjalannya waktu, Park Chung Hee selaku Presiden Korea Selatan pada tahun 1974 memberikan usulan untuk menjadi anggota PBB bagi masing-masing negara kepada Korea Utara. Korea Utara menolak keanggotaan bersama di PBB dan tetap bersikukuh untuk menyetujui keanggotaan PBB jika Korea Selatan dan Korea Utara menggunakan "Republik Konfederasi Koryo" sebagai nama keanggotaan di PBB sebelum unifikasi terjadi. Hasilnya, 2 negara tersebut menunjukkan ketidaksetujuan mereka. Hingga akhirnya, Majelis Umum PBB menunjukkan sikap "netral" nya pada tahun 1975 dengan menyetujui 2 rancangan resolusi yang mendukung masing-masing negara dan diikuti dengan kunjungan Kurt Waldheim, Mantan Sekretaris Jenderal PBB ke Kota Pyongyang (Korea Utara) dan ke Kota Seoul (Korea Selatan) pada tahun 1979.
Meskipun Korea Utara terlihat telah menerima situasi yang mulai membaik dan mulai melupakan uji coba bom atom mereka sejak tahun 1950, hal tersebut tidak membuat Korea Utara berhenti meningkatkan kesiapsiagaan militer mereka dalam menjaga keamanan negara seperti menjadikan nuklir sebagai fokus utama. Uji coba nuklir Korea Utara pertama kali dilakukan pada tanggal 9 Oktober 2006. Kemudian pada tanggal 12 Desember 2012, Korea Utara berhasil melakukan peluncuran nuklir berbentuk Satelit Kwangmyngsng-3 Unit 2 dengan Roket secara 3 tahap. Dan pada tahun yang sama, Korea Utara meluncurkan rudal balistik kapal selam atau yang dikenal dengan sebutan "Submarine-launched ballistic missile" (SLBM) Pukkuksong-1. Alasan dibalik peluncuran Pukkuksong-1Â yakni sebagai respons terhadap keputusan AS dengan Korea Selatan untuk menempatkan Baterai Terminal High-Altitude Air Defense (THAAD) di Semenanjung Korea sekaligus "mengejek" lawannya, mengingat THAAD kesulitan dalam mendeteksi peluncuran jenis senjata yang dianggap sulit bagi Korea Selatan.
Berbicara tentang nuklir Korea Utara, negara tersebut membuat Semenanjung Korea kembali memanas. Dilansir dari CNBC Indonesia, Korea Utara akan menerapkan kebijakan pembangunan kekuatan nuklir bahkan Kim Jong Un selaku Presiden Korea Utara memberikan Perintah untuk peningkatan jumlah senjata nuklir. Selanjutnya, disebutkan bahwa Tindakan Korea Utara disebabkan oleh terjadinya Pertemuan Konsultasi Latihan Simulasi terkait Pencegahan nuklir yang diperluas antara Amerika Serikat dengan Korea Selatan pada pekan lalu.
Sejatinya, Pertemuan yang diadakan oleh Amerika Serikat dan Korea Selatan merupakan keberlanjutan dari Deklarasi Washington pada tahun 2023. Deklarasi tersebut menghasilkan Nuclear Consultative Group (NCG) dan dari badan bilateral ini, turut menghasilkan suatu pedoman bernama "United States and Republic of Korea Guidelines for Nuclear Deterrence and Nuclear Operations on the Korean Peninsula" yang ditandatangani oleh kedua negara tersebut pada 11 Juli 2024 sebagai langkah pencegahan dari memanasnya situasi nuklir di Semenanjung Korea.
Lantas, apakah pedoman tersebut dapat dikatakan sebagai solusi efektif dari ancaman nuklir Korea Utara dalam konflik di Semenanjung Korea bagi perdamaian dunia? Sebelum membahas hal tersebut, tadi sempat disinggung tentang perdamaian atau peace. Dalam permasalahan ini, ancaman nuklir di Semenanjung Korea dapat diklasifikasikan sebagai Negative Peace. Dan berdasarkan pendapat dari Johan Galtung, ia mendefinisikan bahwa Negative Peace adalah situasi perdamaian yang dapat tercapai jika kekerasan yang terjadi secara langsung "menghilang" seperti peperangan.
Jika dilihat secara mendalam, pedoman antara AS dengan Korea Selatan yang sebelumnya telah disebutkan, dapat menjadi solusi efektif bagi permasalahan ini. Mengapa demikian? Karena Korea Selatan dan AS memberikan pernyataan bahwa mereka siap untuk melawan agresi Korea Utara bahkan AS berencana untuk mengerahkan aset nuklir walaupun aset tersebut sifatnya "tidak permanen", menggabungkan senjata konvensional dan nuklir hingga mengadakan latihan militer gabungan di Korea Selatan sebagai bentuk langkah pencegahan konflik di Semenanjung Korea. Secara keseluruhan, tindakan kedua negara tersebut merupakan perwujudan dari Balance of Power yakni Perdamaian hanya dapat tercapai apabila negara-negara yang "bersaing" memiliki Power yang setara dan The Absence of War adalah Perdamaian itu sendiri.
Referensi: