Perilaku menjadi aktivitas sehari-hari oleh masing-masing individu maupun kelompok pada suatu masyarakat tertentu. Tujuannya akan terlihat jelas ketika yang memiliki kepentingan melakukan suatu interaksi satu sama lain. Perilaku bisa dilakukan oleh siapapun dan kapan pun, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial dan pasti melakukan sebuah aktivitas.Â
Setiap sekolah pasti memiliki siswa-siswi sebagai objek atau subjek dari sebuah proses pembelajaran. Siswa-siswi bisa saja menunjukkan perilakunya sesuai karakteristik dan keinginannya entah di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah.
Siswa tingkat SMP maupun SMA/SMK termasuk dalam tahap masa labil/remaja di mana mereka masih  mencari jati diri. Masa perkembangan ini bisa dilihat dari tindakan mereka sehari-hari yaitu mulai dari berkumpul dan berkelompok, terutama berkelompok sesuai dengan kesamaan-kesamaan pandangan.
Ujian Akhir Kelulusan atau Ujian Nasional sering dijadikan momok tersendiri bagi siswa. Tujuan pemerintah membuat kebijakan Ujian Nasional yakni untuk mengukur seberapa jauh kemampuan siswa sehingga menunjukkan hasil akhir dari masing-masing kemampuan siswa tersebut.Â
Terlepas dari pro kontra. Hari pengumuman kelulusan merupakan peristiwa yang sangat berkesan bagi seluruh siswa, hal inilah yang sebenarnya ditunggu-tunggu setelah kerja keras belajar selama sekolah. Apalagi jika pengumuman yang sangat dinantikan ini sesuai dengan harapan.
Kelulusan pelajar dalam menempuh pendidikan formal di sekolah merupakan sebuah keniscayaan, entah itu SD, SMP, maupun SMA. Setelah sekian lama mereka belajar, tibalah ujian akhir sekolah atau ujian nasional. Pengumuman hasil ujian inilah momen yang di tunggu-tunggu oleh seluruh siswa-siswi di Indonesia. Hari dimana mereka menerima hasil kerja keras selama sekolah bertahun-tahun yang akan menjadi penentu apakah lulus dengan nilai memuaskan ataupun sebaliknya, yang mana akan menjadi kenangan dan sejarah tersendiri dalam hidup.
Namun tidak sedikit dari siswa-siswi yang telah dinyatakan lulus saat pengumuman, setelahnya mengekspresikan kelegaan mereka dengan mencoret-coret pakaian seragam dengan pilok warna-warni maupun spidol, kemudian setelah itu disertai dengan konvoi atau pawai yang dilakukan untuk menyambut kelulusan. '
Perilaku semacam ini nampaknya sudah menjadi semacam budaya  yang turun temurun. Meskipun sebelum pengumuman kelulusan sudah ada himbauan dari pihak sekolah untuk tidak melakukan aksi yang berlebihan saat merayakan kelulusan. Namun tetap saja sebagian siswa tidak memperdulikan himbauan tersebut, saking gembiranya atau mungkin sekedar hanya ikut-ikutan saja.
Dahulu momen pengumuman kelulusan ini menjadi hari yang sakral dimana suka duka bercampur menjadi satu, semua tangis bahagia tumpah ruah. Akan tetapi nampaknya kini kesakralan hari kelulusan sudah berganti menjadi euforia penuh warna kebisingan.Â
Lihat saja ketika hari pengumuman telah usai, jalanan dipenuhi dengan suara bising kendaraan motor dan kondisi pakaian siswa penuh warna-warni pilok dan coretan spidol hasil karya seni penuh kebanggaan.Â
Bukannya masyarakat sekitar ikut bahagia karena momen sakral itu, justru menjadi ilfil dan kesal karena dapat menimbulkan kemungkinan-kemungkinan hal yang tidak lumrah, seperti bercampur baur antara laki dan perempuan, budaya konsumtif dengan membuang-buang uang hanya untuk membeli pilok, dan menimbulkan kebisingan akibat konvoi di jalanan.
Riuh kegembiraan pelajar SMP maupun SMA mulai bergemuruh semenjak berita pengumuman kelulusan sudah muncul di mading sekolah masing-masing. Banyak cara yang bisa dilakukan oleh pelajar untuk merayakan moment kegembiraan tersebut. Mulai dari cara yang sederhana hingga cara yang anti mainstream dilakukan. Salah satu cara yang biasa dilakukan oleh pelajar yakni aksi mencorat-coret baju seragam, mewarnai rambut, dan konvoi. Hal ini sudah menjadi sebuah tradisi yang dilakukan turun-temurun oleh pelajar.
Tradisi ini seolah menjadi budaya yang terus menerus dilestarikan di hampir seluruh pelosok negeri. Bahkan siswa SD sudah mulai mencontoh dan melakukan kegiatan seperti ini.Â
Menurut Jurnal Perancangan Kampanye Sosial Modifikasi Baju Seragam SMA saat Kelulusan karya Lorencia Susanto dkk, sebagian besar remaja yang mengikuti ujian kelulusan mengalami tekanan dan rasa cemas dalam menghadapi Ujian, sebagaimana kita ketahui bahwa remaja memiliki gejolak emosi yang masih tergolong labil karena berada dalam tahap remaja awal dan masih memiliki sisa-sia pubertas.
Bisa jadi dari faktor diatas mengakibatkan terjadinya masalah psikologis seperti cemas berlebihan, emosi yang melonjak, rasa gelisah, tidak tenang, stress dan depresi akibat tekanan yang datang dari luar maupun dalam diri sendiri sehingga menjelang kelulusan banyak pelajar yang mengekspresikan kelegaan mereka dengan melakukan aksi corat-coret seragam dan pawai yang dilakukan untuk menyambut dan meramaikan kelulusan. Para remaja yang terlibat dalam aksi ini menurut mereka adalah senin.Â
Dimana seni menurut Ki Hajar Dewantara merupakan hasil keindahan sehingga dapat menggerakkan perasaan indah orang yang melihatnya, oleh karena itu perbuatan manusia lah yang dapat mempengaruhi dan dapat menimbulkan perasaan indah, itulah yang dinamakan seni, ada kepuasan tersendiri.
Seragam yang selama ini menjadi identitas dan teman sehari-hari dengan seketika berubah menjadi sehelai kain penuh warna-warni dan coretan yang mungkin tak pantas lagi untuk dikenakan dan disimpan. Sangat disayangkan sebenarnya apabila para pelajar melakukan hal itu, padahal seragam sekolah kita yang masih layak bisa di manfaatkan dengan baik entah itu disimpan sebagai kenangan saksi bisu bahwa banyak kisah indah yang terukir selama sekolah, mungkin bisa juga disumbangkan atau diberikan kepada adik kelas yang lebih membutuhkan.
Ternyata kebiasaan aksi corat-coret seragam dan konvoi jalanan yang dilakukan setelah pengumuman kelulusan sudah ada semenjak sekitar awal tahun 1990an. Tahun dimana masa penuh warna, khususnya anak-anak yang super bahagia karena belum dimanjakan dengan gadget. Menurut penuturan salah satu dosen di Yogyakarta, sebelum tahun 1990, belum ada pelajar yang melakukan aksi corat-coret pakaian dan konvoi di jalanan setelah pengumuman kelulusan.Â
Barulah setelah Ebtanas diberlakukan di sekolah-sekolah, perlahan budaya semacam ini mulai terbentuk. Yangmana sistem Ebtanas dari pemerintah di kala itu dianggap sebagai beban oleh mayoritas pelajar. Maka wajar, setelah dinyatakan lulus dari sekolah, mereka mengekspresikan kebahagiaannya dengan melakukan aksi mencoret-coret seragam tanpa pikir panjang dan kemudian dilanjut dengan pawai atau konvoi. Kebiasaan ini bisa disebut sebagai bentuk protes pelajar karena sistem Ebtanas tersebut.
 Itulah kemudian mereka menganggap aksi corat-coret seragam sebagai salah satu simbol kebebasan pelajar yang telah lolos dari beban ujian yang membuat kepala puyeng bukan kepalang.
Mungkin kita bisa sedikit menengok tradisi kelulusan di beberapa sekolah yang beraneka ragam, seperti di salah satu sekolah di Yogyakarta, mereka para pelajar disana melakukan aksi pembagian nasi kotak dan susu pada masyarakat sekitar guna merayakan keululusannya. Ada juga di pesantren-pesantren mereka melakukan aksi sujud syukur berjamaah di tanah lapang. Aksi itu dilakukan sebagai bentuk ucapan syukur atas hasil yang mereka peroleh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H