Banyak data yang menunjukkan bahwa banyak pengguna, khususnya generasi muda, menggunakan layanan PayLater untuk membeli barang-barang gaya hidup seperti pakaian, gadget, dan layanan hiburan. Fenomena ini menjadi kekhawatiran ketika pengguna tidak mampu mengelola utang mereka dengan baik, yang kemudian dapat berdampak negatif pada stabilitas keuangan individu. Banyak dari pengguna PayLater yang akhirnya terbebani oleh cicilan bulanan yang harus mereka bayar, seringkali melebihi kemampuan keuangan mereka.
Hal ini menunjukkan bahwa, meskipun bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan mendesak, PayLater juga memiliki risiko yang tinggi. Jika tidak dikelola dengan bijak, layanan ini berpotensi menimbulkan dampak negatif pada kesejahteraan finansial generasi muda.
Tantangan Regulasi dalam Layanan PayLater
Melihat dampak negatif dari PayLater, para ahli menilai pentingnya pengaturan regulasi yang lebih ketat. Sejauh ini, Otoritas Jasa Keuangan sudah menetapkan aturan dasar melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 yang berisikan tentang layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang bertujuan untuk melindungi pengguna (Novendra dan Aulianisa, 2020). Namun, peningkatan risiko kredit macet yang disebabkan oleh layanan ini masih menjadi tantangan. Regulasi yang lebih komprehensif, termasuk keterbukaan biaya dan bunga, serta perlindungan privasi data, diperlukan agar layanan ini tetap aman dan sehat bagi para penggunam.
Selain regulasi, edukasi keuangan juga menjadi langkah yang penting dalam mengurangi risiko kredit digital. Generasi muda sering kali kurang memiliki pengetahuan yang cukup tentang manajemen utang, yang dapat menyebabkan ketidakmampuan dalam mengatur keuangan mereka di tengah godaan berbelanja impulsif. Dengan pemahaman finansial yang memadai, pengguna dapat memahami risiko penggunaan kredit digital dan lebih bijak dalam mengambil keputusan finansial.
Beberapa negara maju, seperti Australia, telah menerapkan regulasi yang ketat terhadap layanan PayLater. Regulasi ini mengharuskan penyedia layanan untuk memberikan informasi yang transparan terkait bunga dan biaya, serta memastikan bahwa pengguna memahami konsekuensi dari penggunaan kredit. Model regulasi ini dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam mengelola pertumbuhan PayLater secara bertanggung jawab dan berkelanjutan.
PayLater di Indonesia Dibandingkan Negara Lain
Pada negara-negara maju di dunia, layanan PayLater diatur dengan ketat untuk mengurangi risiko utang berlebih. Di Amerika Serikat, PayLater diatur melalui lembaga keuangan resmi, yang mewajibkan penyedia layanan memberikan informasi yang transparan terkait bunga dan biaya yang dikenakan. Australia juga menerapkan persyaratan yang ketat untuk pengguna dengan kemampuan finansial terbatas, yang diharapkan dapat mengurangi risiko kredit macet dan menjamin keamanan finansial.
Regulasi yang diterapkan di negara-negara tersebut dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia. Dengan menerapkan regulasi yang transparan, termasuk kewajiban keterbukaan informasi biaya dan bunga, pengguna dapat lebih terlindungi dari risiko utang yang berlebihan. Selain itu, diperlukan kebijakan yang mendorong edukasi finansial agar generasi muda di Indonesia mampu menggunakan layanan ini dengan bijak.
PayLater telah terbukti sebagai inovasi yang memudahkan akses ke kredit bagi Generasi Milenial dan Generasi Z di Indonesia, sekaligus membawa dampak positif dalam memperluas inklusi keuangan. Namun, meskipun memberikan kemudahan, layanan ini juga berpotensi menimbulkan risiko utang berlebih, terutama bagi generasi muda yang kurang memiliki pemahaman dalam manajemen keuangan. Regulasi yang lebih ketat diperlukan untuk memastikan PayLater digunakan secara bijak dan bertanggung jawab. Selain itu, edukasi keuangan menjadi kunci untuk membantu generasi muda memahami risiko dan manfaat PayLater. Inovasi ini bukan hanya solusi praktis untuk kebutuhan keuangan, tetapi juga tantangan yang memerlukan pengaturan yang bijak demi keberlanjutan ekonomi dan stabilitas finansial generasi mendatang