Semakin berkembangnya teknologi financial di Indonesia tentunya membawa perubahan besar pada sektor keuangan. Salah satu inovasi yang berkembang dan menarik perhatian di era digital saat ini adalah layanan Paylater, yang memungkinkan pengguna melakukan pembelian sekarang dan membayar kemudian dengan cicilan tanpa perlu kartu kredit. Di kalangan generasi milenial dan Genereasi Z di Indonesia, layanan Paylater berkembang pesat dan banyak digunakan, karena mereka lebih responsif terhadap teknologi baru dan mencari fleksibilitas dalam mengatur keuangan mereka.
Namun di sisi lain, meskipun layanan Paylater menawarkan kemudahan dan akses yang cepat, layanan ini juga menimbulkan resiko bagi para penggunanya. Dalam artikel ini akan membahas fenomena Paylater di Indonesia, dampaknya terhadap perilaku financial generasi milenial dan gen Z, serta pandangan para ahli terkait regulasi dan edukasi finansial yang diperlukan untuk mengelola resiko layanan Paylater.
Transformasi Digital dan Munculnya PayLater
Perkembangan pesat digitalisasi di Indonesia telah memungkinkan banyak layanan keuangan inovatif untuk tumbuh, salah satunya adalah PayLater. Berbeda dengan kartu kredit tradisional yang prosesnya itu membutuhkan waktu yang panjang, PayLater menawarkan kredit mikro dengan syarat yang lebih ringan, yaitu hanya menggunakan KTP dan prosesnya hanya memerlukan waktu kurang dari 24 jam. Inilah yang menjadikan Paylater pilihan ideal bagi pengguna yang belum memiliki riwayat kredit atau rekening bank.
Friderica Widyasari Dewi, yang merupakan Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK), menerangkan bahwa Paylater kini sudah menjadi budaya di kalangan generasi muda. Dari data yang dihimpul oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pengguna paylater itu mayoritasnya berasal dari generasi milenial dan Gen Z, dengan rentang usia antara 26 hingga 35 tahun (The Conversation, 2021)
Integrasi PayLater dalam platform digital seperti Shopee, Tokopedia, dan Gojek meningkatkan daya tarik layanan ini. Di tengah transformasi digital, PayLater kini menjadi bagian dari gaya hidup konsumtif di mana generasi milenial dan Gen Z dapat membeli kebutuhan sehari-hari hingga barang mewah tanpa perlu uang tunai. Hal ini memperlihatkan perubahan yang signifikan dalam perilaku keuangan generasi muda, di mana akses terhadap kredit digital dianggap sebagai solusi praktis untuk kebutuhan jangka pendek
Dari data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerangkan bahwa dilihat dari kumulatifnya, penggunaan Paylater untuk bertransaksi itu mencapai Rp6,13 triliun hingga Maret 2024. Kemudian, dilihat dari survei Perusahaan Pembiayaan Kredivo, pengguna Paylater mengalami peningkatan dari 28 persen di 2021 menjadi 38 persen di 2022 Frekuensi belanjanya juga semakin sering, yaitu meningkat dari 23 persen menjadi 27 persen (Tirto.id, 2024). Melalui digitalisasi ini, PayLater tidak hanya menawarkan solusi pembayaran fleksibel, tetapi juga mempengaruhi gaya hidup konsumtif generasi muda.
Dampak Sosial dan Ekonomi, Inovasi atau Ancaman?
Meskipun PayLater memberi kemudahan akses pada kredit, layanan ini juga membawa dampak negatif. Salah satu kekhawatiran utama adalah meningkatnya pembelian impulsif di kalangan generasi muda. Kemudahan mengakses PayLater seringkali mendorong pengguna untuk berbelanja barang-barang non-esensial, yang berpotensi menyebabkan utang yang tidak terkendali