politik demokrasi sejak amandemen UUD 1945 yang termaktub dalam pasal 1 ayat 2 "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar".Â
Negara demokrasi seyogyanya melahirkan pemimpin yang berotasi dari rahim masyarakat madani. Demikianlah republik ini telah memilih sistemKini harapan tersebut bak jauh panggang dari api yang mana kerakyatan seolah dipimpin oleh orang yang itu-itu saja bertolak belakang dengan sila keempat Pancasila yakni "Kerakyatan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan". Tidak berjalannya demokrasi yang sehat sesuai landasan konstitusional dan landasan idiil negara membuat kita harus mengevaluasi kembali sejauh mana negara telah mewujudkan demokrasi yang dicita-citakan The Founding Fathers Indonesia.
Tidak lama lagi estafet kepemimpinan negeri harus dilanjutkan kepada anak terbaik ibu pertiwi. Strategi, lobi dan upeti lengkap dengan pernak-perniknya mulai menghangatkan atmosfir politik nasional tukar tambah koalisi hingga lobi partai politik kini santer di bicaran di warung-warung kopi tetapi tidaklah ada sosok baru yang meramaikan panggung selain pemeran lama yang memainkan wayang membuat kita ternganga menyaksikannya. Sebagian besar partai politik dinahkodai oleh kelompok tertentu yang berakibat mandeknya kaderisasi politik nepotisme, kapitalisme hingga popularisme menjadi jalan ninja meraup suara dari goa rakyat yang menderita
Sejumlah publik figur mulai merangsek dunia politik sejauh mata memandang dan telinga mendengar belum ada yang menyampaikan tujuan serta visi/misi yang visioner. Sungguh tidak ada harapan untuk kemajuan selain jalan ninja menarik perhatian mengumpulkan suara bersifat momentual yang bermodalkan popularisme. Bermodalkan ketenaran hingga sosial media menjadi langkah politik pragmatis kelompok flash tidak saja dari publik figur anak konglomerat hingga anak tokoh politik juga ikut mencoba peruntungan.
Melenggangnya kelompok popularisme ke ranah politik terjadi di banyak negara di dunia tentu hal tersebut adalah hak setiap warga negara. Akan tetapi dengan bergabung secepat kilat membuat semua terasa instan dan momentual hal inilah yang menimbulkan pertanyaan besar sudah sejauh mana transformasi kaderisasi partai politik yang seharusnya membuka kesempatan bagi seluruh warga negara utamanya kelompok masyarakat bawah yang membawa aspirasi juga inspirasi dari akar rumput.Â
Pusaran dinasti sebagian besar partai politik bentuk nyata demokrasi yang lesu dan transaksional. Selama pendederan benih pemimpin yang disebut partai ini tidak kunjung bersih dari nepotisme politik selama itu pula kelompok kapitalisme dan popularisme akan keluar masuk toll kekuasaan yang serba instan tanpa gagasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H