Mohon tunggu...
Ady Malik
Ady Malik Mohon Tunggu... Wirausaha -

Mencoba menjadi yang terbaik. Dan percayalah saya humoris!!!

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi | Malang

2 Maret 2018   13:01 Diperbarui: 2 Maret 2018   13:05 2590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malang kota dingin nan mempesona

Kota pendidikan untuk menimba ilmu para anak rantau

Tiap tahun akan selalu bertambah wajah-wajah baru menghiasi jalanan dan gedung-gedung

Mencari tempat peristirahan jangka panjang yang tak menentu

Mengesampingkan kehidupan nyata di kampung halaman

Malang adalah kota romantis dengan eksotisme alam yang memanjakan mata

Menanam benih kerinduan yang mendalam dalam hati bagi yang sudah meninggalkannya

Menarik minat alumni anak rantau untuk bersua kembali dengan malang dan cuaca dingin

Namun malang kini dan dulu jelaslah berbeda

Jalanan sudah mulai padat dan ramai oleh roda-roda egoisme para pengejar pujian

Menyebabkan kemacetan dan polusi dimana mana

Mengikis cuaca yang dingin menggantikan hawa panas

Tanah-tanah subur dan persawahan kini sudah mulai tenggelam

Dalam larutan batu bata bersusun dan berlapis semen

Penduduk asli mulai kehilangan kendali dan tersisihkan

Terganti oleh investor luar dengan perut gendutnya yang mulai ambisi menghabisi alam

Lahan kosong mulai bergedung, sawahpun mulai tumbuh gedung

Dan tanah lapang tempat bermain para bocah lokal mulai hilang diberangus mesin-mesin infrastruktur pembangunan.

Benarkah malang yang sekarang masih pantas dirindukan ?

Kota yang menjadi favorit berlibur kini berubah layaknya kota metropolis yang membosankan

Kesan rindu yang dulu menggebu gebu mulai sirna dari relung hati

Mengunci langkah kaki para anak rantau untuk kembali

Untuk sekedar menghilangkan rasa rindu di hati.

Malang....sungguh malang alammu kini. Sungguh terasa sempit bumimu kini

Bumi yang dulu begitu dipuja dan dinanti untuk di datangi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun