Mohon tunggu...
Ady Akbar
Ady Akbar Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Pendidikan

Pegiat Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menghidupkan Pendidikan Moral yang Telah Lama Mati

14 Agustus 2014   13:47 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:35 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Secara esensial, pendidikan merupakan kegiatan untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan peserta didik agar mampu menghidupi dirinya sendiri, memiliki hidup yang bermakna, dan mampu memuliakan kehidupan. Singkatnya, pendidikan adalah upaya untuk mendesain karakter peserta didik agar sesuai dengan pranata kehidupan sosial yang berlaku. Dalam proses pendidikan, peserta didik harus dibina dan dibimbing untuk meningkatkan keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge), dan kearifan (wisdom). Tak ada jalan lain dan tak ada jalan pintas, untuk mewujudkan itu semua, maka pendidikan harus profesional, artinya pendidikan harus ditingkatkan keterampilan dan pengetahuan agar kompetensinya meningkat pada bidang pembelajaran (teaching), pelatihan (training), dan pendidikan (educating) itu sendiri.

Proses pendidikan adalah proses mengajari peserta didik berpikir rasional, mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Dari uraian tersebut, terlihat jelas bahwa pendidikan merupakan suatu proses pembelajaran terhadap manusia secara terus-menerus agar manusia itu menjadi pribadi yang kamil (sempurna lahir batin). Oleh karena itu, jika pendidikan menghasilkan pribadi-pribadi lemah, doyak KKN, tak bertanggung jawab, tak bermoral, dan tidak mandiri, maka berarti program pendidikan itu telah GAGAL.

Kita tidak bisa mengelak, bangsa Indonesia saat ini tengah digoyang berbagai macam mozaik sosial-budaya, aksi kekerasan, kerusuhan, anarki, korupsi, dan tindakan-tindakan amoral. Tawuran pelajar, adalah bagian kecil dari seonggok potret buram pendidikan kita. Banyak kalangan mulai melihat bahwa model pendidikan kita kurang berbasis pada kemanusiaan sehingga anak-anak didik dan produk pendidikan di Indonesia rentan konflik kemanusiaan, disintegrasi sosial-budaya, degradasi dan dekadensi moral. Munculnya berbagai konflik dan ketegangan-ketegangan di tengah-tengah masyarakat menunjukkan indikasi adanya kesalahan mendasar dalam pendidikan nasional kita. Mungkin kita perlu mengakui terus terang, selama bertahun-tahun, dunia pendidikan kita terpasung oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang absurd, tersisih diantara desas-desus dan hingar-bingar ambisi untuk mengejar kualitas pendidikan itu sendiri. Pendidikan tampaknya kurang diarahkan untuk memanusikan manusia secara utuh lahir dan batin, tetapi lebih diorientasikan pada hal-hal yang bersifat materialistis, ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan budi pekerti.

Harus kita akui, pendidikan nasional telah gagal mencetak manusia-manusia yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Hal ini tentunya perlu mendapatkan perhatian dan kerja sama oleh berbagai pihak, baik dari pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan formal, keluarga sebagai lembaga pendidikan informal, dan masyarakat sebagai lembaga pendidikan nonformal. Tujuan pendidikan yang termaktub dalam undang-undang hanya bisa tercapai apabila ketiga penyelenggara pendidikan tersebut dapat memberikan konstribusi yang berarti bagi pendidikan kita. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan/kebijakan sudah seharusnya memikirkan solusi terhadap problema pendidikan yang kerap terjadi.

Sehemat penulis, tawuran pelajar yang sering terjadi disebabkan karena lunturnya nilai-nilai moral dan kemanusiaan pada peserta didik. Hal ini terjadi karena pada umumnya sekolah-sekolah hanya menekankan siswa pada prestasi kognitif (kecerdasan) dan psikomotorik (keterampilan) tanpa memperhatikan prestasi afektif (sikap dan tingkah laku). Tandusnya nilai-nilai moral peserta didik juga disebabkan karena minimnya pendidikan/mata pelajaran yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan, moral, maupun agama di sekolah. Walaupun ada itu sangat minim. Jika kita amati, kita akan jarang menjumpai sekolah-sekolah yang berbasis agama (pesantren atau Madrasah) yang terlibat dalam tawuran pelajar. Sebaliknya, tawuran pelajar yang terjadi biasanya melibatkan sekolah-sekolah umum atau berbasis keterampilan/ kejuruan (SMA,SMK,STM).

Menilik permasalahan di atas, maka tidak ada cara lain, untuk menghentikan masalah pelik ini, maka pendidikan berbasis moral dan keagamaan harus menjadi perhatian penting dalam ranah pendidikan. Ditengah arus dan goncangan problema saat ini, sudah saatnya untuk menghidupkan kembali pendidikan moral di sekolah, masyarakat, dan keluarga. Memang, usaha untuk memperbaiki moral dan karakter anak bangsa bukanlah perkara yang mudah, butuh kesabaran dan kerja keras oleh semua pihak secara kontinyu dan berkesinambungan. Meski sulit, namun tetaplah yakin, saat ini belum terlambat. “Kalau bukan sekarang kapan lagi. Kalau bukan kita siapa lagi”. Barangkali demikian idiom yang cocok untuk mendongsok semangat para objek pendidikan. Karena itu, pemerintah, sekolah, dan masyarakat harus melakukan perubahan kolektif agar terjadi konvergensi perubahan menuju moral yang lebih baik.

Kendari, Oktober 2013

ADY AKBAR

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun