Mohon tunggu...
Ady Akbar
Ady Akbar Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Ady Akbar. Universitas Haluoleo Kendari- Sulawesi Tenggara. CP: 085242400515

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Perempuan Bugis

2 Mei 2016   06:33 Diperbarui: 2 Mei 2016   07:05 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Imaiwa. Begitu orang kampung megenalnya. Sudah kurang lebih seminggu perempuan itu berkeluh. Ada badai berkecamuk di hatinya. Angannya membenrontak. Nalarnya liar. Perempuan yang menikah kurang lebih tujuh tahun lalu itu akhir-akhir ini hanya mengahabiskan waktunya di legolego rumah. Imaiwa berdiam diri. Angannya melayang. Hanya sesekali ketika melihat orang kampung melintas di depan rumahnya, ia melempar senyumnya yang khas.

***

Semua orang di kampung tahu betul siapa Imaiwa. Perempuan yang pernah bersekolah di pondok pesantren itu dikenal baik oleh orang kampung. Kecantikannya pun santer disebut pemuda kampung. Hanya saja ketika ia telah dipersunting oleh Lanomba, pemuda kampung tentu sudah tidak beringsut mendekatinya.

Kecantikan dan modal sebagai alumni pesantren membuat nama Imaiwa jadi mentereng di kampung, bahkan sampai di kampung sebelah. Tak pelak lagi, beberapa pemuda kampung pernah datang membawa adat ke rumah Imaiwa, termasuk Lapetta, teman pesantrennya dahulu yang kini bekerja sebagai guru mengaji di kapung, sambilannya berdagang. Lapetta membeli beras dari petani di kampung dan menjualnya kembali ke kota. Begitu rutinitasnya. Lapetta tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang sarjana karena harus bekerja membiayai keuangan keluarga.

Sebagai teman pesantren, Imaiwa tentu banyak kenal siapa Lapetta. Ia adalah pemuda yang saleh dan pekerja keras, terlebih karena Lapetta adalah tulang punggung keluarga. Lapetta tinggal bersama ibu dan dua orang adiknya yang masih duduk di bangku madrasah tsanawiah. Solihin, ayah Lapetta, meninggal gegara digerogoti penyakit iabetes ketika Lepetta berusia delapan belas tahun.

Setelah tamat dari pesanteren, terbesit di nalar Lapetta tentang nama Imaiwa. Ada setitik ruang cinta yang masih kosong di hatinya. Karena itu, setelah beberapa tahun dan telah merasa cukup, ia datang melamar Imaiwa. Namun Pung Aji, ibu Imaiwa, menolak lamaran tersebut karena persoalan uang panai’(Bugis: mahar). Lapetta hanya memiliki uang panai’ sebesar Rp 25 juta.

“Maaf nak Petta, saya tahu betul siapa nak Petta. Apalagi teman sekolah Imaiwa. Kalau saya pribadi dari dulu saya sudah menerima. Hanya saja, mure dan keluarga yang lain tidak mau kalau tidak sesuai uangpanai’. Mure Imaiwa inginnya Rp 93 juta,” jelas Pung Aji.

Bukan hanya Lapetta, sebelumnya beberapa orang pemuda yang kesengsem dengan Imaiwa pernah datang membawa adat di rumahnya. Juga ditolak. Alasannya sama, tidak sesuai uang panai’. Orang di kampung yang tahu tentang lamaran itu tentu memaklumi. Di kalangan masyarakat bugis seperti di kampung Imaiwa, uang panai’ adalah harga diri keluarga. Apalagi kalau anak gadis memiliki penampilan yang cantik dan berpendidikan, maka tentu uang panai’ harus di patok tinggi. Kalau tidak demikian, ini sama saja melanggar aturan adat, budaya siri’.

***

Matahari baru saja tergelincir di barat. Gelap perlahan merangkak menaiki lekukan ranting pohon di sudut-sudut kampung. Suara kalong sahut-sahutan menerabas menerbangi perkampungan. Malam itu bulan malas menampakkan sinarnya. Malam gelap. Perkampungan gelap. Segelap angan Imaiwa yang terpaksa harus meredupkan cahaya cintanya kepada Lapetta. Nalarnya seperti berada di persimpangan. Di satu sisi ia mencintai Lapetta, namun di sisi lain ia juga tidak bisa melawan keputusan Pung Aji, ibunya. Kalau Imaiwa ngotot menerima Lapetta, itu berarti ia durhaka kepada orangtuanya. Hatinya bimbang. Imaiwa bak ditumbuk godam berkali-kali. Jiwanya sengkarut. Yang ia tahu, cinta bukanlah tentang persoalan fisik dan harta. Tetapi lebih daripada itu, cinta adalah tentang keikhlasan untuk saling menerima. Yang ia tahu, cinta tidaklah harus tunduk pada budaya. Namun sebaliknya, budayalah yang harus tunduk pada kebenaran cinta. Ia juga tahu, adat dan budaya hanya bisa mengekang dan tidak akan pernah bisa menjanjikan kebahagiaan. Tetapi sebaliknya, kebenaran cintalah yang akan menjamin hadirnya sepucuk kebahagiaan hakiki.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun