Surabaya adalah kota yang dibangun diatas lapisan lumpur, rawa-rawa, genangan air hingga kedung yang harus ditimbun sebelum bisa dimanfaatkan untuk pengembangan kota.Â
Banjir adalah kendala yang harus dihadapi setiap tahun. Bendungan dan saluran-saluran baru harus dibuat untuk irigasi karena kawasan delta yang subur harus mendapatkan debit air yang diatur dan diperhitungkan dengan matang.
Para insinyur dengan karya-karyanya turut menghiasi pembangunan kota, ribuan penduduk pribumi dipekerjakan dan telah menelan begitu banyak biaya sejak awal abad ke 19.Â
Setiap bangunan atau pemukiman yang dibangun berarti harus menaklukkan rawa-rawa dengan hasil yang masih jauh dari ideal. Mari kita tengok suasana kota Surabaya di awal abad 19.
Pada tahun 1800, dari lokasi yang kini berdiri sisa-sisa Jembatan Pethekan hingga kearah laut terbentang rawa-rawa luas. Jalan akses menuju pantai hanya berupa jalan setapak yang sederhana dan hanya ada dua jalur.Â
Jalan setapak pertama berada di sisi barat Kalimas yang lurus hingga ke pantai, jalan setapak kedua di sisi timur Kalimas menuju ke arah kampung Semampir dan Kali Pegirian. Kawasan antara Kalimas dan Kali Pegirikan masih berupa hutan yang tidak terlalu lebat, pepohonan nipah dan percabangan anak-anak sungai.
Pada tahun 1809, sebuah jalan akses dibangun di sepanjang sisi timur Kalimas, memutus percabangan-percabangan sungai. Mulut Kalimas dilengkapi dengan dinding dermaga pada kedua sisinya.Â
Bersamaan dengan dibangunnya jalan akses ini, dibangun pula sebuah benteng kecil yang dinamakan "Fort Kalimas" / Benteng Kalimas. Dibangun 200 meter menjorok keluar dari mulut Kalimas dari batu-batuan yang didatangkan dari Madura.
Sejak jalan akses ini dibangun maka bermunculan pula perkampungan baru dari gubug-gubug berbentuk panggung untuk menghindari banjir. Pada akhir tahun 1846, pembangunan Marine Etablissement dimulai dan ini menjadi sebuah "ledakan besar".Â
Dari pembangunan inilah sebutan kawasan "oedjoeng" mulai dikenal. Ribuan pekerja tiba-tiba meramaikan kawasan hutan dan pepohonan nipah tersebut, hadirnya para pekerja ini diikuti bukan hanya pembangunan jalan akses yang lebih baik, tetapi juga maraknya pemukiman baru, warung makan hingga prostitusi.
Baca juga : Sejarah Panjang Prostitusi di Surabaya
Dari uraian diatas, bisa kita simpulkan bahwa tanah dimana Marine Etablissement ini dibangun adalah tanah yang sangat muda, sebuah kawasan endapan yang masih sangat baru. Kandungan utamanya adalah lumpur dan pasir, dua material yang didominasi akibat letusan Gunung Kelud.
Gunung Kelud sebagai salah satu gunung merapi yang cukup aktif dengan rentang erupsi yang relatif pendek. Antara 1848 hingga 1919 saja tercatat meletus lima kali pada tahun 1848, 1864, 1875, 1901 dan 1919. Â
Tiap erupsi, jutaan meter kubik pasir dan lumpur halus dimuntahkan dan terbawa aliran sungai. Material ini kemudian mengendap di sekitar mulut sungai. Survei yang dilaksanakan pada tahun 1837 menunjukkan bahwa garis pantai Surabaya mengalami penambahan rata-rata antara 7,5 hingga 8 meter per tahun.
Untuk mendapatkan gambaran kedahsyatan erupsinya, letusan Kelud pada 1586 tercatat berkekuatan  VEI = 5 ( Volcanic Explosivity Index ) dengan 10.000 korban jiwa.Â
Sebagai perbandingan, letusan Krakatau yang terkenal ditahun 1883 memiliki kekuatan VEI =6 dan membawa korban 36.400 jiwa. Letusan Kelud pada 1919 membawa korban sebesar 5.160 jiwa.
Uji pengeboran tanah di Surabaya menunjukkan lapisan atas yang bervariasi, pasir mendominasi kawasan sekitaran sungai. Pengambilan sampel di kota Surabaya sisi selatan baru mendapatkan tanah keras di kedalaman 16 hingga 20 meter, mungkin ini dasar laut lama.Â
Pada tahun 1824, Kalimas dan Kali Pegirikan terhubung di dua tempat oleh saluran terbuka. Bagian selatan berada di selatan stasiun Surabaya Kota dekat dinding pertahanan perbentengan kota. Sedangkan saluran terbuka di sisi utara disebut Kali Mati, namun sebelum bernama Kali Mati, orang menyebutnya Kali Malang.
Kali Krembangan menjadi batas kota Surabaya bagian barat. Yang berada diluar dari sungai ini diantaranya komplek kuburan kuno dan gudang serbuk mesiu. Komplek kuburan kini menjadi komplek tandon air PDAM Krembangan.
Sebelum 1835, Kali Krembangan ini melintasi pula Praban Gemblongan dan Bubutan. Ditahun 1835, saluran sungai bagian ini ditutup.
Dari tahun 1834 hingga 1845 dibangunlah sebuah sistem benteng pertahanan yang menghabiskan dana sebesar 44 juta gulden. Sebuah proyek mahal yang berakhir bencana, karena kemajuan teknologi maka benteng ini dinyatakan usang dan tidak layak pakai sebagai sistem pertahanan. Disisi lain parit-parit yang dibangun dengan tujuan melindungi benteng ternyata menjadi penyebab wabah kolera.
Ditahun 1889 terjadi serangan wabah kolera yang cukup parah di kota Surabaya. Antara 1889 hingga 1890 dilakukan pengurukan saluran dan terutama genangan-genangan air di kawasan Peneleh, Plampitan, Undaan dan Jagalan.
Pekerjaan penutupan genangan air ini terus berlanjut antara 1890 hingga 1897 diberbagai penjuru kota, termasuk parit utama benteng Prins Hendrik juga diratakan. Untuk mengatur air yang masuk ke kota Surabaya untuk kegunaan irigasi dan upaya pencegahan banjir maka dibangunlah pintu-pintu air.
Pintu air disisi pedalaman sudah dibangun lebih dulu, bendungan Mlirip dibangun antara tahun 1843 hingga 1846. Sedangkan bendungan Lengkong di  dibangun mulai tahun 1854 dan diresmikan pada 22 Agustus 1857.
Pada tahun 1856, saluran kanal buatan dari Wonokromo - Jagir terus ke timur menuju laut mulai dikerjakan. Upaya pengaturan debit air yang masuk ke Kalimas terus dikerjakan, bendungan Gunungsari dan Gubeng berturut-turut diselesaikan tahun 1898 dan 1899.
Untuk mengatasi masalah pendangkalan di jalur Kalimas hingga selat Madura, pada tahun 1881 dibentuklah komite khusus yang dibentuk oleh pemerintah kolonial. Adapun misi komite ini diantaranya :
1. Pelebaran Kali Porong, diharapkan debit yang berlebih dari Kali Brantas dapat dialirkan melalui Kali Porong.
2. Debit yang masuk ke Surabaya hanya sebatas untuk keperluan irigasi dan menjaga ketinggian air guna keperluan transportasi perahu.
3. Debit berlebihan yang masuk ke Surabaya pada musim hujan dialirkan melalui saluran Wonokromo guna mencegah banjir didalam kota.
Banjir tetap menjadi ancaman di Surabaya, selama dana masih bisa digelontorkan maka persaingan antara alam dengan teknologi manusia akan terus berlanjut.
Literatur :
Von Faber,Oud Soerabaia
Asia Maior, Soerabaja 1900-1950, Havens, Marine, Stadsbeeld
Arthur Wichmann, Die Erdbeben des Indischen Archipels bis zum Jahre 1857
Ulin Nihayatul dkk , The Eruption of Mount Kelud and It's Impacts in Blitar 1919-1922
Artikel lain dari penulis :
Perkembangan Lampu Jalan di Surabaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H