Mohon tunggu...
Akhmad Bumi
Akhmad Bumi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Korupsi Korporasi, Golkar Bubar?

25 September 2018   09:51 Diperbarui: 25 September 2018   10:45 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Akhmad Bumi

Ya kasus yang menimpa sejumlah elit Partai Golkar belakang ini cukup menarik. Menarik karena indikasi adanya tindak pidana korupsi korporasi yang ditujukan pada partai Golkar.

KPK telah menetapkan tiga tersangka yakni Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih, pemilik saham Blackgold Natural Resources, Johannes B Kotjo, dan mantan Menteri Sosial Idrus Marham dalam kasus PLTU Riau-1.

Eni diduga menerima uang Rp 6,25 miliar dari Kotjo secara bertahap dengan rincian Rp 4 miliar sekitar November-Desember 2017 dan Rp 2,25 miliar pada Maret-Juni 2018. Pemberian uang terkait proyek PLTU Riau-1.

Menurut pengakuan Eni seperti yang dikutip banyak media, sebagian dari uang yang diterimanya tersebut, ia berikan untuk keperluan pelaksanaan Munaslub Golkar.

Saat itu, Eni adalah bendahara panitia Munaslub Partai Golkar. Sedangkan yang menjadi Ketua Panitia adalah Agus Gumiwang, politisi Golkar yang kini menjabat Menteri Sosial.

Benarkah dengan pengakuan Eni dengan serta merta Golkar dituduh melakukan tindak pidana korupsi?

Tentu tidak semudah itu. Karena partai politik akan menarik garis antara tindakan pengurus partai yang mewakili dirinya sendiri (individu) disatu sisi dengan kehendak partai dengan merujuk pada AD/ART dan mekanisme partai dalam mengambil keputusan pada sisi lain. Jika tidak pernah diambil keputusan dalam partai sesuai AD/ART, sepanjang itu juga tindakan tsb menjadi perbuatan pribadi. Karena tidak pernah diputuskan oleh partai dalam rapat sebagai forum pengambil keputusan partai.

Sanksi Pidana Korporasi

Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) disebutkan bahwa subyek hukum pelaku korupsi tidak saja orang, tetapi juga badan hukum atau korporasi.

UU Tipikor menyebutkan korporasi adalah "kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi, baik itu merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum".

Pengertian korporasi dalam UU Tipikor ini sangat luas, ketimbang pengertian korporasi dalam hukum Perdata.

Pasal 20 UU Tipikor menyebutkan jika korupsi dilakukan oleh atau atas nama korporasi, tuntutan atau penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.

Seperti apa sanksi pidananya? Pasal 23 Perma Nomor 13 tahun 2016 mengatur Hakim dapat menjatuhkan pidana terhadap Korporasi atau Pengurus atau Korporasi dn Pengurus, baik secara alternatif maupun kumulatif.

Hanya partai politik bukan badan usaha seperti korporasi lain yang direksi / pengurus bertanggungjwb baik diluar maupun di dalam peradilan. Partai juga tidak dapat memiliki saham atas nama sendiri (parpol), tetapi harus orang.

Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana ditambah satu pertiga.

Korporasi sebagai subjek hukum, bentuk artificial person dari seorang manusia yang dapat memiliki hak dan kewajiban hukum. Yang membedakan dengan manusia, korporasi tidak dapat dikenakan pemidanaan berupa pidana yang merampas kemerdekaan badan (penjara).

Merujuk pada UU TPPU, partai politik sebagai korporasi dapat dijatuhkan pidana (pencucian uang) Jika : (a) dilakukan atau diperintahkan oleh personil pengendali korporasi; atau (2) dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi; atau (3) dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; atau (4) dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi.

Dalam kasus partai Golkar ini, para pengurus partai politik yang diduga melakukan tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana asal. Sedangkan partai politik dapat ditarik sebagai subyek hukum, terkena jeratan tindak pidana pencucian uang, yang berasal dari tindak pidana korupsi.

Ketentuan pemidanaan terhadap partai politik sebagai korporasi sesuai Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 13 Tahun 2016. Dalam Perma itu, hakim menyatakan korporasi melakukan kesalahan yang dapat dipidana, bilamana: (1). Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan korporasi; (2) Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; (3)

Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.

Jika semua ini terbukti baik tindak pidana korupsi maupun tindak pidana pencucian uang, maka partai politik sebagai korporasi dapat dijerat dengan sanksi pidana pokok yakni denda dengan menggunakan UU Tipikor maupun UU TPPU. Atau menggunakan dakwaan kumulatif multi door, yang menggabungkan dua undang-undang sekaligus : UU Tipikor dan UU TPPU.

UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengatur sanksi pidana kepada korporasi berupa pidana pokok yakni denda. Denda yang dikenakan terhadap korporasi maksimal Rp 1 milyar. Nilainya relatif lebih kecil ketimbang UU tindak pidana pencucian uang. UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) mengatur denda kepada korporasi maksimal Rp100 miliar.

Pembubaran Partai Politik

Pembubaran partai politik hanya menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki kewenangan untuk membubarkan partai politik sesuai UU MK. Hal itu jika ada permohonan dari pemerintah menurut Pasal 68 UU MK dan Peraturan MK Nomor 12 Tahun 2014. Yang memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pembubaran partai politik adalah pemerintah. UU Tipikor dan UU TPPU tidak mengatur sanksi pidana berupa pembubaran partai. Karena hal ini terpaut dengan sistem tata negara Indonesia.

Dalam sejarah politik Indonesia, setidaknya tercatat ada 2 (dua) partai politik yang dibubarkan pemerintah, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD). PKI dibubarkan melalui Surat Keputusan Nomor 1/3/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, sedangkan Partai Rakyat Demokratik (PRD) dibubarkan melalui Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 210-221 Tahun 1997 tentang Pembubaran dan Pelarangan Organisasi Partai Rakyat Demokratik. Waktu itu belum ada Mahkamah Konstitusi (MK), olehnya pembubaran partai menjadi kewenangan pemerintah.

Jika terbukti ada aliran uang ke partai politik sebagai korporasi, terbukti dalam persidangan dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pemerintah dapat mengajukan permohonan pembubaran partai melalui MK. Atau masyarakat dapat mendesak pemerintah untuk menggunakan hak legal standingnya untuk mengajukan permohonan pembubaran partai politik.

Bukan hanya Partai Golkar, tapi sebelumnya telah ada kasus serupa yang menimpa pengurus partai Demokrat, PKS, PDIP, PAN, PKB dll. Tapi sanksi pidana dijatuhkan kepada orang atas perbuatannya sebagai pribadi. Tidak terkait korporasi.

Soal kasus pidana korporasi yang menimpa partai politik ini cukup menyita perhatian banyak orang. Konsep partai politik memiliki badan usaha atau partai dapat membuka usaha seperti badan usaha milik partai (BUMP) pernah diwacanakan tapi kemudian menuai polemik. Banyak pihak khawatir jika partai politik memiliki badan usaha, parpol dapat menjadi lembaga bisnis, tidak lagi sebagai lembaga politik. Munculnya wacana adanya badan usaha milik partai, oleh karena partai kesulitan membiayai aktivitas politik.

Dengan pertimbangan lain, partai politik menjadi sumbuh demokrasi yang vital dalam sistem politik Indonesia. Olehnya pembiayaan partai politik perlu dicarikan jalan keluar. Apakah dibiayai negara melalui APBN atau melalui usaha partai dalam bentuk badan usaha milik partai. Wacana ini perlu dikembangkan lebih lanjut.

Cikini, 25 September 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun