Sejak munculnya kasus pertama COVID 19 di Indonesia dan setelah berlaku kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kegiatan masyarakat mulai dibatasi, bagi pelajar dibatasi dengan pembelajaran jarak jauh, bagi yang bekerja diberlakukan pembatasan dengan bekerja dari rumah (work from home).Â
     Kantor pemerintah maupun swasta silih berganti buka-tutup-buka, karena silih berganti pula ada tertular virus dan ada yang sembuh bahkan ada pula yang mati. Tak terkecuali persidangan di Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, PTUN atau badan peradilan dibawah Mahkamah Agung juga dibuka tutup. Bahkan persidangan-persidangan juga diselenggarakan secara online atau e-litigation. Kecuali acara pembuktian yang harus diselenggarakan secara offline atau tatap muka.Â
     Dalam kondisi normal saja semua perkara bertumpuk di pengadilan. Di saat pandemi ini, semua orang berpikir dua kali untuk berperkara ke pengadilan. Disamping waktu yang bertahun-tahun dan belum tentu memenuhi rasa keadilan masyarakat.  Ketua Mahkamah Agung sudah mengeluarkan Surat Edaran  No. 1 tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas selama masa pencegahan penyebaran COVID 19 di lingkungan Mahkamah Agung dan Badan peradilan yang berada dibawahnya.Â
     Dalam perkara perdata dilingkungan peradilan umum dan peradilan agama sejak tahun 2008 silam, bagi para pihak diwajibkan untuk melalui proses mediasi sebelum diperiksa pokok perkaranya (vide Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan). Jauh sebelum itu, merupakan kewajiban untuk mendamaikan para pihak dalam perkara perdata sebelum ada putusan hakim. Terakhir kewajiban bermediasi bagi para pihak ini diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.Â
     Sebenarnya ada sikap mendua dalam hal ini. Disatu sisi, Mediasi itu merupakan pilihan sukarela para menyelesaikan perkaranya diluar pengadilan dengan memakai jasa pihak ketiga yang netral sebagai mediator untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa diantara para pihak tersebut. Namun disisi lain, dari pilihan sukarela menjadi diwajibkan sebagai prasyarat perkara perdata tersebut dapat dilanjutkan ke pokok perkara bila tidak terjadi kesepakatan, atau berhenti karena adanya perdamaian diantara para pihak.
     Melihat kondisi sosiologis masyarakat karena jenuh dengan pembatasan sosial sementara itu banyak konflik diantara warga masyarakat saat ini.  Aparatur penegak hukum di pengadilan pun cukup kewalahan menangani perkara disebabkan keterbatasan sumber daya manusia dan keterbatasan karena krisis kesehatan yang sudah berlangsung selama lebih setahun ini. Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan bisa menjadi pilihan bagi para pihak untuk menyelesaian perkaranya melalui proses mediasi.
    Setelah dikembangkan selama lebih dari 13 tahun ini, mediasi kelihatannya sudah menampakkan hasil yang menggembirakan di badan peradilan dilingkungan Mahkamah Agung dalam penyelesaian sengketa perdata diluar prosedur hukum acara yang berlaku. Kebiasaan bermediasi kelihatannya menuju trend yang menggembirakan, walaupun belum ada kuantitatif yang menunjukkan trend kenaikan dalam bermediasi.
    Dalam perkara pidana pun sedang dikembangkan apa yang dinamakan mediasi penal dalam perkara-perkara pidana tertentu, seperti perkara pidana anak, pencemaran nama baik, fitnah, penganiayaan, cybercrime, ujaran kebencian, dan bahkan perkara dibidang kesehatan dan kedokteran. Seperti diketahui saat ini hukum kesehatan dan kedokteran tumbuh pesat, tidak terkecuali hukum pidana dibidang kesehatan dan kedokteran.Â
    Selama masa pandemi ini banyak sekali perkara pidana dilingkungan fasilitas kesehatan yang menimpa tenaga kesehatan maupun tenaga medis. Ada kasus dokter dianiaya keluarga pasien, ada perawat yang dianiaya keluarga pasien, ada mayat yang dibawa paksa dari fasilitas kesehatan, ada pelecehan seksual dari pasien ke tenaga kesehatan atau tenaga medis.
    Bila kasus-kasus dilaporkan ke aparat penegak hukum dilingkungan Polri tentunya mereka pun cukup kewalahan. Sebagai bagian dari Satgas COVID dimasing-masing wilayah tentunya menjadi beban pekerjaan yang sangat berat bagi mereka. Dan bila sampai berlanjut ke pra penuntutan atau penuntutan juga akan menjadi beban Jaksa selaku Penuntut Umum untuk menyelesaikan perkara ditengah pandemi.