Mohon tunggu...
Muhammad Maulana Kusuma Wardhana
Muhammad Maulana Kusuma Wardhana Mohon Tunggu... -

Advokat magang yang sedang mencari ilmu, ilmu menyangkut profesi baik ilmu kehidupan, "hidup cuma sekali, mati lalu berarti!"

Selanjutnya

Tutup

Politik

Revisi Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Menguatkan atau Melemahkan?

4 Maret 2016   10:17 Diperbarui: 4 Maret 2016   11:59 1382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Undang-undang yang telah berusia 14 tahun ini, yakni UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, akhir-akhir ini menjadi polemik yang berkepanjangan, dimana dinyatakan akan adanya revisi, dan sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI 2016.

Pemerintah sangat menginginkan jika Undang-Undang KPK dimasukan adanya Dewan Pengawas, dari masalah polemik revisi tersebut ada yang mendukung atau menolak baik dari internal ataupun eksternal KPK serta masyarakat luas, Aktivis-aktivis penggiat anti Korupsi yang melakukan penolakan akan Revisi Undang-undang tersebut.

 Ada 4 Point yang menjadi tujuan akan revisi Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, dimana empat point tersebut adalah sebagai berikut :
1. Mengenai kewenangan Pengangkatan Penyidik;
2. Dibentuknya Dewan Pengawas KPK;
3. Penyadapan yang harus ada izin;
4. Kewenangan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP-3), yang selama ini tidak dimiliki KPK;
Dari point-point yang akan dimasukan dalam Revisi UU KPK, memperlihatkan dalam Revisi tersebut, ada hal yang memperlemah dalam pandangan Masyarakat luas, dan memperkuat dalam pandangan Pemerintah.
Dengan melihat situasional yang terjadi menurut pendapat penulis, belum saatnyalah UU KPK untuk direvisi, karena masih sangat memiliki dasar yuridis yang kuat dan tidak ada hambatan-hambatan, dimana KPK pimpinan yang lama maupun yang baru selalu menghasilkan menangkap Koruptor-koruptor yang baru. 

Suatu tindak pidana korupsi yang penuh dengan ide konspiratif dan celah-celah licik dari para koruptor memang sangat berbahaya dan jangan biarkan ketentuan yuridis memberikan keleluasaan bagi para koruptor untuk membodohi lembaga antirasuah.

Kita ambil contoh apabila masalah penyadapan direvisi, berdasarkan pasal 12 Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi berbunyi :

“Dalam melaksanakan tugas Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf C, Komisi Pemberantasan Korupsi Berwenang :
a. Melakukan Penyadapan dan merekam Pembicaraan;
b. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;
c. ……………….
d. ……………..
e. ………….
f. ……………….
g. ……………………
h. …………………..
i. ……………………..

Dalam revisi Undang-undang tersebut ada polemik menyatakan bahwa Penyadapan dan perekaman harus mendapat Izin Pengadilan ataupun Dewan Pengawas, bayangkan alangkah susahnya jika harus ada izin, harus memasukan surat permohonan dahulu, lalu harus mengikuti prosuder yang ada, lalu Target Operasi (TO) keburu menghilang, dan berusaha menghindari penyadapan apabila sudah bisa mengendus akan adanya penyadapan, padahal bukan hanya KPK yang memiliki kewenangan penyadapan, seperti Kepolisian, Badan Inteljen Negara, Badan Nasional Penanggulan Terorisme, dan seluruh pihak lembaga keamanan lainnya memiliki kewenangan Penyadapan. Selama ini juga Penyadapan yang dilakukan KPK Berhasil dengan berujungnya penangkapan terhadap koruptor tanpa adanya penyalahgunaan wewenang dari pihak KPK.

Selanjutnya adalah mengenai dibentuknya Dewan Pengawas, dengan dalih pemerintah menginginkan agar Lembaga Antirasuah ini memiliki sebuah pengawasan atau control yang mengawasi tiap gerak para pegawai atau pimpinan KPK ada atau tidaknya pelanggaran etik dalam setiap tindakan atau keputusannya.

Dalam setiap peristiwa terjadi, baik pimpinan KPK ataupun Penyidik KPK dalam melaksanakan tugas, jarang adanya yang bertentangan dengan Kode etik, melainkan adalah kesalahan masa lalu yang ada dalam pandangan adalah kriminalisasi.

Selanjutnya adalah revisi tentang dimasukannya kewenangan Proses Penghentian Penyidikan (SP-3), sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 40 Undang-Undang Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menerangkan bahwa KPK tidak memiliki adanya kewenangan mengeluarkan perintah penghentian penyidikan ataupun penuntutan perkara Tindak Pidana Korupsi.

Pasal inilah yang akan digantikan KPK jadi memiliki kewenangan memberikan Perintah Penghentian Penyidikan, dengan dalih alasan dari pemerintah jika ada tersangka yang meninggal atau adanya bukti baru (Novum), terhadap Tersangka baik pada waktu penyidikan ataupun pemeriksaan di Pengadilan dapat dikeluarkan Surat Penghentian Penyidikan, padahal apabila Tersangka atau Terdakwa meninggal Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang R.I No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan dalam pasal 33, dan Pasal 34, yang mana menyatakan sebagai berikut :

Pasal 33 Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang R.I No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi :

“Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan Negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyelidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap Ahli Warisnya”

Pasal 34 :

“Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan disidang Pengadilan, sedang secara nyatatelah ada kerugian keuangan Negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara siding tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”

Jadi dalam hal Tersangka atau Terdakwa meninggal dunia tidak diperlukannya lagi untuk SP-3, melainkan bisa menggugat para ahli waris koruptor berdasarkan keputusan pengadilan pidana, bersalah atau tidaknya,  dengan berdasarkan putusan hakim baru diketahui berapa kerugian Negara itu, apabila ada SP-3 maka kasus itu lenyap, dan juga dengan adanya kewenangan SP-3 ditakutkan akan adanya permainan licik para koruptor untuk memanfaatkan kewenangan SP-3.

Selanjutnya adalah mengenai kewenangan mengangkat penyidik independen, dalam harian Nusa Bali, wakil Pimpinan KPK Laode Muhammad Syarif mengungkapkan terkait penyidik Independen Lembaga KPK menyetujui revisi salah satu poin ini , sebab lembaga anti rasuah sangat membutuhkan Penyidik dari independen KPK, karena sulit mencari ketentuan penyidikan yang ada, seperti penyidik yang mengenai sektor Ekonomi tentang perdagangan di Bursa Saham, beliau menilai pengetahuan penyidik yang berasal dari kepolisian sangat terbatas mengenai hal tersebut. Dia juga mengatakan, selama ini KPK telah mengangkat beberapa penyidik independen, tetapi masih sering dipermasalahkan dan ada yang berujung pada praperadilan."Jadi memang pada gentleman agreement hal itu sudah diatur. Kami sepakat jika ini akan diatur dan diundang-undangkan ungkap Laode dalam media tersebut.

Itulah yang menjadi point-point Revisi Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, dalam pandangan penulis alangkah baiknyajika revisi ini memiliki kepentingan yang memihak atas nama rakyat Indonesia bukan atas nama kepentingan politik dan kepentingan mereka yang terancam akan Lembaga Anti Rasuah ini!

 

Oleh : Mohammad Maulana Kusumawardhana, S.H
Advokat Magang Kantor Hukum H. Rusli Bastari 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun