Hal ini terjadi karena penegak hukum menginterpretasikan bahwa memiliki, menguasai, membawa narkotika dibawah ketentuan surat edaran MA, dapat dikonstruksi dalam pasal sebagai pengedar, sehingga sangat jarang pasal penyalah guna berdiri sendiri. Disisi lain penegak hukum yang menangani kasus penyalah guna narkotika jarang melakukan langkah – langkah pemeriksaan secara medis dan psikis untuk menentukan seorang yang ditangkap sebagai penyalah guna atau pengedar, serta tidak pernah melakukan pemeriksaan terhadap tingkatan kecanduan dan rencana terapi rehabilitasinya, sehingga Hakim merasa sulit dalam memutuskan tindakan berupa rehabilitasi. Selain tentunya ada kepentingan terselubung dibalik proses pemeriksaan aparat penegak hukum ini yang ujung-ujungnya adalah kesepakatan harga.
Melihat kondisi hal ini, tentunya diperlukan pengaturan yang tegas dalam perundang-undangan agar dapat dinyatakan syarat dan batas seseorang dikatakan sebagai pemakai/pecandu sehingga wajib rehabilitasi medis dan sosial serta tidak boleh dijatuhi hukuman pidana penjara.
Hal ini tak lain dan tak bukan, agar kita tidak menambah panjang peredaran gelap narkotika di negeri ini, karena berdasarkan pemahaman dan pengalaman yang ada setiap pemakai/pecandu yang kemudian dijatuhi hukuman penjara akan memiliki kecenderungan memperoleh "ijazah" kelulusan dari Lapas untuk kemudian beralih menjadi kurir atau pengedar.
Hukum bukanlah untuk memberikan kekejaman kepada pelaku tindak pidana melainkan untuk mewujudkan KEADILAN.
JUSTITIA VOOR IEDERAN!!!!!
Noor Aufa;
Managing Partners LN & Associates
www.lnassociates.com
aufa.lawyer@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H