“Hukum adalah suatu perintah yang masuk akal, ditujukan untuk kesejahteraan umum, dibuat oleh mereka yang mengemban tugas suatu masyarakat yang dipromulgasikan”.
Demikian defisini hukum menurut Thomas Aquinas, dimana definisi ini tetap menjadi definisi yang lengkap dan aktual hingga saat ini. Hukum adalah suatu perintah yang logis. Kalau ada hukum yang tidak logis maka hukum itu bertentangan dengan eksistensinya sendiri. Kelogisan hukum itu sendiri dapat diverifikasikan dalam kalimat-kalimat yang tertuang dalam perumusan suatu tata aturan yang kemudian menjadi tolak ukur kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Hukum haruslah adil dan selalu memperjuangkan keadilan bagi semua pihak, termasuk keadilan sutuhnya bagi Tersangka dan/atau Terdakwa. Hukum yang tidak adil bertentangan sekali dengan hakikat keberadaan hukum dan haruslah diubah agar mencapai sasarannya yaitu kesejahteraan umum serta keadilan. Ketika anak manusia berhadapan dengan proses hukum itu sendiri, tidak lain dan tidak bukan yang diharapkan adalah lahirnya sebuah KEADILAN seutuhnya yang diformulasikan melalui lembaga peradilan.
Bahwa dalam suatu system peradilan pidana, ada atau tidaknya suatu dugaan tindak pidana akan dimulai dari proses penyelidikan dan penyidikan yang menjadi pondasi awalnya. Karena itu, proses penyelidikan dan penyidikan ini menjadi bagian terpenting dalam penegakan hukum pidana. Apabila terjadi kesalahan atau miss procedure dalam proses ini, maka bisa diyakini tujuan awal dari hukum tidak akan tercapai sebagaimana mestinya.
Dalam hal ini, guna mencapai tujuan yang mulia dari hukum pidana, maka pada aparat hukum diberikan kewenangan oleh perundang-undangan untuk melakukan berbagai tindakan, termasuk dalam ini upaya paksa terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana. Namun demikian, aturan dalam hukum acara pidana sendiri memberikan pembatasan-pembatasan pada aparat penegak hukum dalam tindakannya ini. Dan, apabila orang yang diduga melakukan tindak pidana merasa terjadi miss procedure dalam penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum, hukum acara pidana pun memberikan peluang pengawasan dan pengujian atas hal tersebut yangd ikenal dengan praperadilan.
Praperadilan adalah satu mekanisme hukum acara pidana yang bisa ditempuh seseorang untuk ‘melawan’ perlakuan atau keputusan aparat penegak hukum. Perlakuan dan keputusan itulah yang menjadi objek praperadilan. Selama ini berkembang pemikiran bahwa objek praperadilan bersifat limitatif. Jika pemikiran ini diikuti, maka praperadilan hanya terbatas untuk mempersoalkan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan. Demikian pula keabsahan ganti kerugian, atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
KUHAP apabila dibaca secara tekstual, tak ada ruang untuk menguji keabsahan penetapan tersangka lewat praperadilan. Tetapi tim pengacara BG melihat peluang adanya kesempatan bagi orang ditetapkan menjadi tersangka oleh penyidik guna menguji keabsahan procedure penatapan tersangka a quo melalui jalan praperadilan.
Pada dasarnya, KUHAP sebagai suatu instrumen umum (lex generalis) berfungsi untuk mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materil memiliki peran yang penting dan determinan dalam proses penegakan hukum yang didasarkan pada kerangka due process of law. KUHAP merupakan realisasi konkrit dari konsep negara hukum (rechtstaat). Adanya perangkat perundang-undangan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta adanya jaminan persamaan kedudukan baik dalam hukum (equality before the law) maupun dalam pemerintahan bagi setiap warga negara, termasuk adanya kewajiban untuk menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tersebut, merupakan karakteristik utama yang melekat pada konsep negara hukum.
Lahirnya KUHAP didasakan pada dua alasan, yaitu alasan untuk menciptakan suatu ketentuan yang dapat mendukung terselenggaranya suatu peradilan pidana yang adil (fair trial) dan alasan adanya urgensi untuk menggantikan produk hukum acara yang bersifat kolonialistik sebagaimana yang tercantum dalam Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR). Dalam pedoman pelaksanaan KUHAP dijelaskan bahwa sebagai produk dari badan legislatif kolonial maka HIR belum memberikan jaminan dan perlindungan yang cukup terhadap hak asasi manusia. Dengan pertimbangan tersebut maka KUHAP sebagai produk hukum nasional telah merumuskan ketentuan yang lebih baik dari HIR.
Dicantumkannya ketentuan tentang praperadilan sebagai suatu lembaga yang memiliki beberapa kewenangan tertentu oleh KUHAP, merupakan hal yang menambah perbedaan prinsipil antara KUHAP dengan HIR. Sebagai suatu lembaga baru yang diintrodusir oleh KUHAP maka praperadilan bukan merupakan suatu lembaga yang berdiri sendiri.
Dalam perkembangannya, lembaga praperadilan tersebut memiliki berbagai permasalahan dalam penerapannya. Mulai dari adanya limitasi pemeriksaan jenis upaya paksa yang berupa penangkapan dan penahanan saja dan tidak termasuk penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat sampai dengan ketidakjelasan mengenai interpretasi pihak ketiga yang berkepentingan dalam mengajukan sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan serta hal baru yang muncul dalam pengujian procedural penetapan tersangka.
Berangkat dari kacamata hukum, hakim tidak boleh menolak memberikan putusan terhadap suatu perkara praperadilan dengan alasan tidak adanya ketentuan yang memberikan penjelasan yang tegas mengenai aturannya. Dengan adanya ketidakjelasan tersebut maka hakim diwajibkan untuk melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) dengan metode interpretasi.
Di Amerika Serikat, istilah praperadilan lebih dikenal dengan istilah pre trial. Namun terdapat perbedaan antara lembaga praperadilan dengan lembaga pre trial. Dalam lembaga pre trial memiliki kewenangan untuk meneliti ada atau tidak adanya dasar hukum yang cukup untuk mengajukn suatu penuntutan terhadap suatu perkara pidana didepan pengadilan. Sementara itu, ruang lingkup praperadilan bersifat limitatif sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 77 huruf a dan b KUHAP dan Pasal 95 KUHAP, yaitu sebagai berikut :
1.Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan dan penahan ;
2.Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan ;
3.Memeriksa dan memutus ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan ;
4.Memeriksa dan memutus terhadap tuntutan ganti kerugian yang diajukan oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan ;
5.Memeriksa dan memutus permintaan rehabilitasi yang diajukan oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri
Berdasarkan ruang lingkup kewenangan tersebut maka pada dasarnya, lembaga praperadilan berfungsi sebagai lembaga yang melakukan pengawasan secara horisontal terhadap tindakan yang dilakukan penyidik dan penuntut umum. Oleh karena itu, praperadilan memiliki peran yang penting untuk meminimalisir penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam pelaksanaan proses penegakan hukum. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari pengawasan horisontal dari lembaga praperadilan tersebut adalah sesuai dengan tujuan umum dibentuknya KUHAP yaitu untuk menciptakan suatu proses penegakan hukum yang didasarkan pada kerangka due process of law.
Menurut Prof. DR. Loebby Loqman, SH, MH dijelaskan bahwa fungsi pengawasan horisontal terhadap proses pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh lembaga praperadilan tersebut juga merupakan bagian dari kerangka sistem peradilan pidana terpadu. (Loebby Loqman, Pra-Peradilan Di Indonesia; 1987)
Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga praperadilan tersebut pada dasarnya identik dengan lembaga Rechter Commisaris yang terdapat di Belanda atau lembaga Judge d’Instruction yang terdapat di Perancis. Kedua lembaga yang muncul dari sistem hukumcivil lawtersebut memiliki kewenangan melakukan pemeriksaan atas sah atau tidaknya upaya paksa. Sedangkan dalam system common law system, lembaga praperadilan identik dengan lembagapre-trial yang terdapat di Amerika Serikat yang menerapkan prinsipHabeas Corpus yang pada dasarnya menjelaskan bahwa dalam masyarakat beradab maka pemerintah harus selalu menjamin hak kemerdekaan seseorang.
Dengan demikian, melihat pada isi putusan dalam permohonan praperadilan yang diajukan Tersangka BG dan diputusa PN Jakarta Selatan, tergambar adanya sisi positif nilai putusan tersebut. Ke depan, diharapkan penyelidik dan penyidik sebagai “pintu gerbang” dalam proses peradilan pidana tidak lagi melakukan tindakan “ceroboh” dan “sewenang-wenang” dalam menetapkan tersangka. Penetapan tersangka haruslah didasarkan pada prosdure yang disahkan oleh peraturan perundang-undangan dan bukan sekedar “penilaian subyektif” penyidik belaka.
Dengan didasarkan pada kasus permohonan praperadilan yang diajukan oleh Tersangka BG dan telah diputus oleh Hakim Sarpin Rizaldi di PN Jakarta Selatan diatas, terlihat bahwa adanya perbedaan interpretasi mengenai limitasi praperadilan yang telah diatur oleh KUHAP dengan “penemuan hukum” oleh Hakim SR. Hal ini pada dasarnya menggambarkan kelemahan yang dimiliki oleh KUHAP sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Pada dasarnya, interpretasi yang diberikan oleh hakim dalam rangka melakukan penemuan hukum untuk menutupi suatu aturan hukum yang tidak jelas dan tidak lengkap. Namun demikian, ked depan diharapkan agar dalam mencari dan merumuskan interpretasi tersebut maka sebaiknya yang mendekati dan mencerminkan nilai-nilai dan rasa keadilan masyarakat (public justice) serta bukan sekedar pada “siapa” yang mengajukannya. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H