Masalah outsourcing atau alih daya dalam masalah ketenagakerjaan kembali menyeruak ke permukaan ketika RUU Omnibus Law menjadi perbincangan hangat publik antara tahun 2019 hingga pertengahan tahun tahun 2020 hingga terbitnya UURI No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Aksi unjuk rasa besar-besaran dilakukan oleh kalangan serikat buruh di Indonesia bahkan ditengah pandemi COVID-19 tengah berlangsung.Â
Hal inilah yang membuat sebagian kalangan masyarakat dan serikat buruh kemudian mempersoalkan ketentuan outsourcing dan beberapa masalah krusial lain dalam UURI No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja melalui upaya Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi yang akhirnya melahirkan Putusan Mahkamah Konsitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 yang memutuskan bahwa UURI No. 11 tahun 2020 mengandung cacat prosedural pembentukan undang-undang dan  memerintahkan agar UURI No. 11 tahun 2020 diperbaiki.Â
Bagi pemerintah Putusan Mahkamah Konsitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 disalahartikan dengan mengeluarkan Perppu No. Â 2 tahun 2022 yang kemudian disahkan oleh DPR RI sebagai UURI No. 6 tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No. 2 tahun 2022 menjadi UU. Â Terbitnya UURI No. 6 tahun 2023 kembali menmbulkan reaksi keras dikalangan masyarakat terutama kalangan serikat buruh. Terbitnya UURI No. 6 tahun 2023 ibarat hanya mengganti baju saja, badannya tetap sama.Â
Menurut penulis tenaga outsourcing atau tenaga alih daya tidak lain hanyalah sebuah praktek perbudakan modern yang dikemas dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Semoga bermanfaat
FARID MU'ADZ BASAKRAN
Advokat dan Mediator Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI