Jagat dunia kemarin dikagetkan dengan peristiwa kekerasan di depan gedung DPR kemarin. Bukan mengenai kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap para pengunjuk rasa, melainkan ada kekerasan terhadap AA seorang Dosen FISIP UI yang dikenal juga sebagai aktivis media sosial. Penulis sendiri melihat gambar dan video yang tersebar di media sosial cukup merinding dibuatnya. Â
Kaget dan tidak habis fikir, betapa dihinakannya seorang AA dimuka umum.
Aksi unjuk rasa dan gerakan mahasiswa dalam unjuk rasa 11 April 2022 seketika redup, digantikan dengan berita babak belurnya AA dihajar oleh massa yang tak tentu arah. Ada beberapa kata-kata yang keluar dari kerumunan massa tersebut antara lain, "si AA munafiq itu", "Khianat ini", "Buzzer dia", dan sebagainya.
 Massa dilihat dari tindakannya kemarin menduga AA seorang penyusup yang menyusup ditengah aksi unjuk rasa 11 April 2022 kemarin. Cukup beralasan juga bila yang bersangkutan disebut penyusup, karena selama ini suara AA selalu berseberangan dengan arus utama pandangan sebagian masyarakat.
Dalam beberapa kontennya di media sosial AA sering berseberangan dengan arus utama pandangan rakyat. Kesan yang ditimmbulkan dari sosok AA ini adalah seorang buzzer Istana, dan beberapa kasus juga terlibat perkara hate speach dan pelanggaran UU ITE serta melakukan penistaan terhadap agama Islam dan beberapa tokoh agama Islam.
Eigenrichting.
Bertindak menghakimi orang lain secara sewenang-wenang atau main hakim sendiri. Melaksanakan hak menurut kehendaknya sendiri yang bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan, sehingga akan menimbulkan kerugian. Dalam bahasa Belanda disebut eigenrichting. (Kamus Hukum, JCT Simorangkir dkk, Bumi Aksara 1995).
Dalam peristiwa kekerasan terhadap AA kemarin, 11 April 2022, terlihat bahwa tindakan eigenrichting ini dilakukan oleh kerumunan massa. Apakah ini murni eigenrichting dari para pengunjuk rasa ini harus ada penyelidikan yang mendalam, ataukah ada penyusupan dari orang-orang tak bertanggungjawab.
Penulis sendiri melihat bahwa peristiwa ini awalnya merupakan caci maki dan sumpah serapah dari beberapa orang yang ditujukan kepada beberapa orang, namun ada banyak pihak yang mengambil keuntungan atas peristiwa babak belurnya AA ini.Â
Seseorang atau kelompok orang melakukan eigenrichting ini bisa disebabkan dua hal. Pertama, tertutupnya ruang dialog dan diskusi sehingga seseorang atau kelompok orang melakukan eigenrichting. Kedua, bisa karena penegakan hukum dan aparat penegak hukum mengalami disfungsi sehingga ada rasa ketidakadilan yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang sehingga harus menjalani main hakim sendiri.
Disfungsi Penegakan Hukum.
Sebagai seorang aktivis media sosial, AA sering berlaku kontroversial dalam menyebarkan konten-kontennya yang berseberangan dengan arus utama pandangan masyarakat. Didalam beberapa konten pun sering menyinggung kelompok masyarakat tertentu dan agama Islam.Â
Dalam banyak kasus, AA sudah banyak dilaporkan baik itu tindak pidana UU ITE dan tindak pidana penistaan agama atau golongan penduduk tertentu. Penulis tidak punya data kuantitatif berapa kasus yang dilaporkan masyarakat dan dimana saja dilaporkan.Â
Walaupun penulis tidak punya data kuantitatif, namun dari pengamatan media terlihat hampir semua laporan polisi yang dilaporkan masyarakat terhadap AA belum terlihat ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum Polri.
 Masyarakat memberi kesan bahwa aparat penegak hukum memberi kekebalan hukum terhadap AA. Bahkan beberapa kasus yang menimpa rekan AA, yang juga tidak tersentuh oleh hukum. Padahal kekerasan verbal yang dialami oleh masyarakat lebih besar dibanding kekerasan fisik yang dialami oleh AA.
Berbeda halnya dengan Ferdinand Hutahaean, M. Kace dan beberapa kasus pelanggaran UU ITE dan penistaan agama yang dapat dinaikkan kasus hingga adanya putusan pengadilan. Aparat penegak hukum, terutama Polri, kelihatannya melakukan diskriminasi terhadap AA dan mengorbankan masyarakat sebagai korban yang sering melaporkan AA.Â
Dalam kasus  AA ini, kelihatnnya masyarakat kecewa dengan disfungsi penegakan hukum dan aparat penegak hukum untuk memproses AA sesuai asas persamaan hukum. Sehingga awalnya sumpah serapah dan caci maki kemudian berakhir dengan main hakim sendiri (eigenrichting).Â
Disini aparat penegak hukum tidak memahami kondisi sosiologis dan psikologis yang selama ini mengelami kekerasan secara verbal dari seorang sosok AA. Bahkan kemarin Kapolda Metro Jaya cenderung untuk memberikan stigma terhadap kelompok masyarakat yang diduga sebagai pelaku kekerasan terhadap AA.
Seharusnya aparat penegak hukum, terutama Polri, berintrospeksi diri dan berusaha memahami rasa keadilan di masyarakat yang selama ini tidak terpenuhi diakibatkan disfungsinya penegakan hukum dan aparat hukum dalam menangani berbagai kasus ujaran kebencian dan penistaan agama yang dilakukan oleh AA tersebut. Semoga kita semua belajar dari kasus AA ini.   Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H