Mohon tunggu...
Farid Muadz Basakran
Farid Muadz Basakran Mohon Tunggu... Administrasi - Advokat

#Advokat #Mediator #Medikolegal I Pendiri BASAKRAN dan GINTING MANIK Law Office sejak 1996 I Sentra Advokasi Masyarakat I Hotline : +62816 793 313

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menggugat Surat Edaran Kapolri No. 7 Tahun 2018

25 Maret 2019   09:28 Diperbarui: 25 Maret 2019   09:30 6297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara diam-diam Kapolri pada 27 Juli 2018 kemarin menerbitkan produk Jukrah (Petunjuk dan Pengarahan) dalam instrumen aturan kebijakan Surat Edaran Kapolri No. SE/7/VII/2018 tentang Penghentian Penyelidikan.

Hal ini secara kebetulan penulis ketahui ketika menerima jawaban dari Polresta Bogor Kota selaku Termohon dalam perkara Permohonan Praperadilan dengan Nomor Register : 2/Pra.Pra/2018/PN.Bgr di Pengadilan Negeri Bogor. Penulis dan istri sebagai Pemohon prinsipal dalam perkara tersebut.

Penulis dan keluarga menjadi korban selama dua kali. Pertama, menjadi korban kejahatan Pengaduan Fitnah kepada Pembesar Negeri sebagaimana dimaksud Pasal 317 KUHP sebagaimana Laporan Polisi No. LP/713/VIII/2017/Resta Bogor Kota tanggal 4 Agustus 2017. Kedua, menjadi korban adanya kebijakan dari Pimpinan Polri yang memberikan petunjuk dan pengarahan agar mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penyelidikan apabila tidak ditemukan peristiwa pidana.

Bagi penulis, keluarnya Surat Edaran Kapolri No. 7 tahun 2018 ini cukup mengagetkan, dan menyimpang dari ketentuan hukum acara pidana KUHAP (UU No. 8 tahun 1981) dan Peraturan Kapolri No. 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Secara hierarki perundang-undangan Surat Edaran pun tidak termasuk dalam tata urutan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Selain itu Surat Edaran juga tidak memuat norma hukum yang bersifat mengikat secara umum. Melainkan hanya sekedar petunjuk teknis dan petunjuk pengarahan bagi internal Polri.

HIERARKI PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA 

Indonesia adalah sebuah yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat). Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional.

Pernyataan konsitusional dalam UUD 1945, Pasal 1 ayat (3) tersebut bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum mengandung makna luastentang berlakunya prinsip negara berdasarkan hukum (rechtsstaat) seperti diberbagai negara lain. Menurut Willem Konnjnenbelt, terdapat empat unsur penting gagasan negara hukum yaitu :

1.   Pelaksaan kekuasaan memerintah harus berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar atau undang-undang yang diakui             (wetmatigheid van bestuur);

2.   Pemerintah harus menghormati hak-hak asasi manusia (grondrechten);

3.   Kewenangan pemerintah tidak boleh terpusat melainkan diserahkan kepada berbagai organ negara, yang berimbang dan saling mengawasi                         (machtsverdeling);

4.    Perbuatan tindakan pemerintah harus dapat dikontrol oleh badan peradilan yang menilai secara bebas sahnya perbuatan tersebut (rechtterlijke                  controle).

Secara umum dapat dijelaskan bahwa negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat), seperti yang diajarkan oleh John Locke dan Montesquieu, bertujuan agar orang yang berkuasa tidak menggunakan kekuasaan dengan sewenang-wenang, karena itu perlu diberikan arahan untuk membatasi kekuasaan tersebut.

Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Prof. Dr. A. Hamid S. Attamimi, S.H., berpendapat bahwa norma dari suatu peraturan perundang-undangan adalah selalu bersifat mengikat umum, abstrak, dan berlaku terus menerus (dauerhaftig).

Peraturan perundang-undangan merupakan bagian atau subsistem dari negara hukum. Oleh karena itu latar belakang dikeluarkannya Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah didasarkan pada pemikiran bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintah harus berdasarkan atas hukum.

Menurut Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tata urutan perundangan-undangan yang berlaku di Indonesia adalah  sebagai berikut :

         "(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: 

                 a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 

                b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 

               c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 

              d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; 

              f. Peraturan Daerah Provinsi; dan 

              g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota."

KEDUDUKAN SE KAPOLRI NO. SE/7/VII/2018 DALAM HIERARKI PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA.

Bila dilihat dari ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 tahun 2011 tersebut diatas Surat Edaran atau Surat Edaran Kapolri No. SE/7/VII/2018 tentang Penghentian Penyelidikan tidak termasuk jenis dan tata urutan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Sementara bila dilihat dari rujukan keluarnya SE Kapolri tersebut yakni :

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP;

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;

4. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana;

5. Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Nomor 3 tahun 2014 tentang Standar Operasional Prosedur Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana.

Kesemua peraturan perundang-undangan tersebut sangat bertentangan dengan Surat Edaran Kapolri No. 7 tahun 2018 ini. Menurut KUHAP maupun Peraturan Kapolri No. 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, sebuah tindakan penyelidikan adalah bagian integral dari proses penyidikan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Penyidik Polri tidak bisa secara sewenang-wenang membuat hukum acara baru untuk menghentikan penyelidikan. Mengenai adanya peristiwa pidana atau tidak hal itu merupakan kewenangan Hakim yang sudah diambil alih secara dini oleh Penyidik Polri.

Diskresi kepolisian pun bukan. Karena hukum acara pidana penyidikan dan penyelidikan sudah jelas diatur dalam KUHAP, UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri dan ditambah lagi diatur dalam Peraturan Kapolri No. 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

Secara teori hukum administrasi negara, Surat Edaran ini masuk dalam apa yang sering dinamakan aturan kebijakan (beleidsregel, policy rule). Produk atau instrumen kebijakan semacam ini tidak terlepas dari kaitan penggunaan freies ermessen, yaitu badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan merumuskan kebijakan dalam pelbagai bentuk seperti peraturan, pedoman, pengumuman, dan surat edaran.

Suatu aturan kebijakan pada hakekatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara, namun tanpa disertai kewenangan pembuatan peraturan dari badan atau pejabat tata usaha negara tersebut. Aturan kebijakan dimaksud pada kenyataannya telah merupakan bagian dari kegiatan pemerintahan.

Meskipun dasar penerbitan legislasi semu adalah kewenangan diskresioner (discretionary power) atau freies ermessen, namun tidaklah berarti kewenangan tersebut dapat digunakan secara sewenang-wenang. Aturan kebijakan atau legislasi semu ini harus memenuhi syarat :

Legislasi semu dibentuk dalam keadaan mendesak, karena pemerintah memerlukan suatu peraturan untuk menjalankan tugas umum pemerintahan;

Legislasi semu dapat dipertanggungjawabkan secara etika dan moral.

Menurut Bagir Manan, aturan kebijakan (legislasi semu) mempunyai ciri sebagai berikut :

> Aturan kebijakan merupakan peraturan perundang-undangan;

> Asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan tidak dapat diberlakukan pada aturan kebijakan;

> Aturan kebijakan tidak dapat diuji secara wetmatigheid, karena memang tidak ada dasar peraturan perundang-undangan untuk membuat keputusan      aturan kebijakan tersebut;

>  Aturan kebijakan dibuat berdasarkan freies ermessen dan ketiadaan wewenang adminsitrasi bersangkutan membuat peraturan perundang-                           undangan;

> Pengujian terhadap suatu aturan kebijakan lebih diserahkan kepada doelmatigheid sehingga batu ujianya adalah asas-asas umum pemerintahan              yang layak;

> Dalam praktik diberi format dalam berbagai bentuk dan jenis aturan, yakni keputusan, instruksi, surat edaran, pengumuman, dan lain-lain, bahkan      dapat dijumpai dalam bentuk peraturan.

Bila demikian adanya maka Surat Edaran Kapolri No. SE/7/VII/2018 tentang Penghentian Penyeldikan akan berpotensi bertambahnya korban kejahatan dan pelaku kejahatan secara signifikan, walaupun delik aduan sekalipun, karena Penyidik Polri dengan sewenang-wenang dan subyektifitas yang tinggi bisa mengeliminasi peristiwa pidana yang diadukan oleh warga masyarakat.

Sebagai penutup maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Surat Edaran Kapolri No. SE/7/VII/2018 tentang Penghentian Penyeldikan bertentangan dengan asas penyidikan dalam KUHAP, UU No. 2 tahun                2002    tentang Polri, Peraturan Kapolri No. 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

2. Surat Edaran Kapolri No. SE/7/VII/2018 tentang Penghentian Penyeldikan bukanlah salah satu jenis dan tidak termasuk hierarki peraturan                           perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam UURI No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan.

3.  Surat Edaran Kapolri No. SE/7/VII/2018 tentang Penghentian Penyeldikan tidak diuji materi ke Mahkamah Agung RI karena tidak ada dasar                         peraturan perundang-undangan yang mendasari terbitnya Surat Edaran Kapolri tersebut.

4. Surat Edaran Kapolri No. SE/7/VII/2018 tentang Penghentian Penyeldikan berpotensi menambah pelaku kejahatan dan korban kejahatan secara                 signifikan.

Harapan terakhir untuk menguji Surat Edaran Kapolri No. SE/7/VII/2018 tentang Penghentian Penyeldikan ini ada pada lembaga Praperadilan yang berada dan menjadi kewenangan lingkungan Peradilan Umum dibawah Mahkamah Agung Republik Indonesia. Semoga para Hakim dilingkungan peradilan umum mendengarkan jeritan rasa keadilan yang dialami masyarakat pencari keadilan akibat terbitnya Surat Edaran Kapolri No. SE/7/VII/2018 tentang Penghentian Penyeldikan ini.

FARID MU'ADZ BASAKRAN

Advokat dan Pemerhati Hukum

Referensi :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun