Pukul 00.00 wib dinihari tadi tercatat dalam sejarah bahwa ada seorang Gubernur di ibukota dan bahkan diseluruh Negara Republik Indonesia berstatus sebagai terdakwa. Adalah Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok yang berhasil mencatatkan sejarah tersebut. DImulai dengan keberuntungannya berpasangan dengan Jokowi pada 2012 yang lalu yang mengantarkannya sebagai pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Pada tahun 2014, keberuntungannya kembali didapat setelah Jokowi menang dalam Pilpres berpasangan dengan Jusuf Kala. Setelah melalui pertarungan politik yang menegangkan di Jakarta, akhirnya dengan terpaksa DPRD DKI Jakarta mengesahkannya sebagai Gubernur Pengganti menggantikan Jokowi yang sudah naik menjadi Presiden RI kedelapan.
Kata orang Betawi, Ahok ini ibarat "Kodok naek ke bale" dan ibarat "Kacang yang lupa kulitnya". Dimulai dengan "durhaka" kepada Prabowo Subianto dan Gerindra yang telah memperjuangkannya sebagai Wakil Gubernur berpasangan dengan Jokowi, ditambah lagi kesukaannya menggusur warga miskin perkotaan dan bahkan memakinya, hingga kata-kata comberan dan kebun binatang juga keluar dari lisan mulutnya. Â
Kasus penistaan agama dengan tuduhan menistakan surah al Maidah ayat 51 di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu sebagaimana dimaksud Pasal 156a KUHPidana (PNPS No. 1 tahun 1965) dengan ancaman hukuman maksimal 5 (lima) tahun telah menyeret dirinya dalam kasus hukum hingga disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang rencananya besok akan memasuki sidang kesepuluh pada Senin besok. Kasus demi kasus terus menggerogoti dirinya, setelah tuduhannya kepada para peserta aksi 212, dalam wawancara dengan ABC TV yang katanya menerima uang 500 ribu rupiah yang dilaporkan oleh beberapa pihak, hingga kasusnya yang dianggap menghina dan melecehkan Ketua MUI Pusat K.H. Ma'ruf Amin yang sudah sepuh pada sidang kedelapan yang lalu yang menimbulkan gejolak dikalangan warga NU dan ummat Islam lainnya.
Pada 16 November 2016 status Ahok dalam kasus penistaan surat al-Maidah ayat 51 ditingkatkan oleh Penyidik Mabes Polri menjadi Tersangka. Kemudian statusnya meningkat lagi secara resmi pada 13 Desember 2016 menjadi Terdakwa, dan sejak itulah kasusnya disidangkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara hingga kembali diaktifkan kembali sebagai Gubernur DKI Jakarta pada pukul 00.00 tanggal 12 Februari 2017 tahun ini setelah masa cutinya sebagai Paslon Gubernur DKI Jakarta. Â Â
**********
Menurut  Pasal 83 ayat (1) sampai ayat (5) UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, mengenai pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap Kepala Daerah yang berstatus sebagai Terdakwa diatur sebagai berikut :
(1) Kepala Daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan  pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Kepala Daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan berdasarkan register perkara di pengadilan.
(3) Pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil walikota.
(4) Kepala Daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan tanpa usulan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(5) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota Â
Berdasarkan Pasal 83 ayat (1), (2) dan (3) UU No. 23 tahun 2014 sejak 13 Desember 2016 yang lalu cukup jelas, bahwa Ahok secara de jure haruslah diberhentikan sementara oleh Presiden sebagai Gubernur DKI Jakarta. Namun secara de facto, kedudukan Ahok tetap menjabat dan secara yuridis aman dengan menikmati masa cutinya sebagai Gubernur DKI Jakarta yang mencalonkan diri sebagai Paslon Pilkada DKI Jakarta dan sebagai pasangan petahana. Lalu mengapa Ahok tetap aman dan menjabat kembali sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan status terdakwa sejak pukul 00.000 wib dinihari tadi ? Menurut penulis, ada kekuatan politik yang melindungi AHok secara yuridis maupun secara politik. Siapakah pihak tersebut, penulis mempersilahkan para pembaca untuk mencernanya secara cerdas.
Bila ada pendapat dan pernyataan Menteri Dalam Negeri soal pengaktifan kembali dan pemberhentian sementara Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta menunggu Tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum, menurut penulis itu adalah pernyataan yang keliru dan sesat fikir yang melanggar hukum dan undang-undang serta melanggar sumpah jabatan dari pejabat yang berwenang untuk memberhentikan sementara Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Solusi hukum untuk mengatasi permasalahan ini adalah mendesak secara politik dan secara hukum kepada Presiden untuk menggunakan kewenangannya berdasarkan undang-undang untuk memberhentikan sementara Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta sampai adanya putusan pengadilan yang inkracht. Bila Presiden tidak mau menggunakan kewenangannya tersebut, secara hukum administrasi negara bisa dianggap sebagai suatu tindakan atau keputusan tata usaha negara dan atas hal ini warga masyarakat bisa mengajukan gugatan class action kepada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Disisi lain, secara politik DPR bisa menggunakan hak angket untuk mempertanyakan sikap politik Presiden yang tidak mau menggunakan kewenangannya tersebut. Ujung dari proses politik ini berupa pemakzulan (impeachment)Â kepada kedudukan dan jabatan Presiden.
Pengaktifan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta merupakan preseden yang buruk bagi penegakan hukum  dan kehidupan politik di Indonesia. Bahwa sudah banyak kasus yang menimpa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang tersangkut kasus hukum juga dilakukan tindakan politik berupa pemberhentian sementara atau pemberhentian tetap kepada yang bersangkutan. Mengapa dalam kasus Ahok ini tak kunjung dilakukan pemberhentian sementara oleh Presiden ?   Â
****** Â Â Â
Bila diurut waktu kebelakang, maka kenyataan pengaktifan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta merupakan grand scenario yang sudah dirancang sejak adanya Laporan Polisi atas kasus  penistaan agama pada 7 November 2016 lalu, terlihat ada skenario penyelematan dan pengamanan Ahok baik secara hukum maupun secara politik. Dimulai dengan banyaknya kejanggalan-kejanggalan dalam proses penyelidikan, gelar perkara dan penyidikan yang tidak sesuai KUHAP dan Perkap No. 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penydikan Perkara Pidana. Penambahan Pasal 156 KUHPidana  pada proses penyidikan pasca gelar perkara tanggal 16 November 2016. Padahal yang dilaporkan dan peristiwa hukum yang sebenarnya adalah penistaan agama, in casu penistaan surat al-Maidah ayat 51. Sehingga yang teat diterapkan adalah Pasal 156 a KUHPidana (PNPS No. 1 tahun 1965).Â
Artikel penulis pada 18 November 2016 yang berjudul Gejala Pengkerdilan Kasus Ahok http://www.kompasiana.com/advokat-faridmuadz/gejala-pengkerdilan-kasus-ahok_582e633bb59373cc042f5ad5 sudah memperingatkan ada gejala pengkerdilan Pasal 156a KUHPidana tersebut, dan rupanya fenomena itu akan menjadi kenyataan hukum dan menjadi preseden yang buruk dalam penegakan hukum di Indonesia.
Skenario penyelamatan dan pengamanan Ahok ini juga bisa dilihat dari Dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang disusun secara alternatif namun menempatkan Pasal 156 KUHPidana dengan ancaman  hukuman penjara maksimal 4 (empat) tahun sebagai Dakwaan Kesatu, dan hanya menempatkan Pasal 156a KUHPidana dengan ancaman hukuman maksimal 5 (lima) tahun penjara sebagai Dakwan Kedua dan sebagai dakwaan ban serep. Tindakan Penyidik dan Penuntut Umum inilah yang menjadi sumber malapetaka hukum dalam kasus penistaan agama yang didakwakan kepada Ahok tersebut, dan bisa menjadi penyelematan dan pengamanan posisi Ahok secara hukum dan secara politik.
Harapan terakhir ada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara untuk memeriksa dan mengadili perkara secara adil dan tidak memihak serta menerapkan pasal 156a KUHPidana secara murni dan konsekwen sebagai lex specialis dari kasus-kasus penistaan agama, dan bukannya pasal 156 KUHPidana.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H