Mungkin pembaca masih ingat dengan aksi bom bunuh diri saat sholat Jum'at berlangsung di Mapolresta Cirebon pada 15 April 2011. Peristiwa yang cukup menghentakkan dan menghebohkan publik nusantara karena kelompok teroris berhasil masuk ke instalasi alat negara yang berfungsi dalam bidang keamanan dan ketertiban masyarakat ini.
Pelaku bom bunuh diri tersebut meletakan bom di perut sebelah kanan. Pelaku itu berpura-pura ikut sholat Jumat. Akibat kejadian tersebut diperkirakan 26 orang terluka termasuk Kapolres Cirebon, AKBP Herukotjo. Sementara itu satu orang yang meninggal adalah pelaku bom bunuh diri yang diduga berumur 25 tahun.
Pengamat Teroris dari Sekolah Tinggi Intelijen Negara, Mardigu saat itu menilai bom bunuh diri yang dilakukan di Masjid At-Taqwa yang terletak di kompleks kantor Polresta Cirebon, Jawa Barat ini merupakan perang gerilya melawan polisi. Mardigu menduga bom bunuh diri tersebut dilakukan oleh kelompok teroris jaringan lama."Jadi polisi memang ditarget, tetapi ada satu hal yang bikin kita surprise adalah dia mengeksekusi hal ini adalah di jam sholat Jumat dan tertinggi, artinya ini ada sebuah kebencian yang sungguh diluar dari kebiasaan karena dia bisa membuat ketakutan semua orang yang beribadah sekarang."
Mardigu coba menambahkan analisisnya, "Kita menganalisa dari data forensic lapangan aja di mana mereka menggunakan low explosivedan menggunakan mekanik pematiknya, dengan pola yang sama dengan Azhari style, Afghan style sehingga kita masih menarik benang merah sama dengan yang kemarin-kemarin termasuk bom buku."
Dua tahun kemudian atau tepatnya pada 3 Juni 2013, serangan bom bunuh diri juga terjadi Mapolres Poso pada pagi hari sekitar pukul 08.03 WITA. Seorang pria berusia 30-35 tahun menerabas masuk Mapolres Poso dengan mengendarai sepeda motor bebek berwarna biru. Sekitar 35 meter dari pos penjagaan, bom meledak dengan kencang. Menurut Kapolres Poso, AKBP Susnadi, bom meledak di dekat Masjid Mapolres Poso.
Aksi Bom Bunuh Diri Mapolres Surakarta.
Kejadian bom bunuh diri di Mapolresta Cirebon dan di Mapolres Poso, kali ini terjadi lagi di Mapolresta Surakarta pada akhir Ramadhan 1437 Hijriyyah atau tepatnya pada Selasa, 5 Juli 2016.
Satu orang tewas dan satu polisi terluka akibat bom bunuh diri di depan Markas Polresta Surakarta. Peristiwa ledakan terjadi pada pukul 07:30 WIB. Saat itu, ada seseorang yang mengendarai sepeda motor menerobos masuk ke halaman kantor Polresta. Orang itu kemudian dipanggil anggota Provoost. Setelah dicegat dan dikejar petugas piket, pelaku akhirnya meledakkan diri di halaman kantor Polresta Surakarta dan tepatnya di depan ruang Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT).
Rekaman video yang ditayangkan dalam siaran beberapa stasiun televisi terlihat lokasi dalam keadaan kacau balau, sepeda motor pelaku ledakan hancur total. Kapolda Jawa Tengah, Irjen Pol Condro Kirono mengatakan, bom rakitan yang diledakkan pelaku berdaya ledak rendah dan tidak mengakibatkan kerusakan terhadap bangunan kantor polisi. Saat ini pihak kepolisian tengah menyelidiki identitas dan motif pelakunya.
Berdasarkan penelusuran penulis di media cetak maupun di media online, pelakunya bernama Nur Rohman (31 tahun) dan warga Sangkrah, Pasar Kliwon, Solo, Jawa Tengah. Nur Rohman, ternyata menjadi Ketua RT dilingkungannya di Rt. 01/012, Sangkrah, Pasar Kliwon, Solo.
Sesuai domisili tempat tinggalnya, ternyata Nur Rohman masih satu kampung dengan Muhammad Bahrun Naim. Bahrun Naim dikenal sebagai otak serangan teror di Jakarta pada 15 Januari 2016 lalu. Nur Rohman, di Sangkrah tinggal bersama istrinya, Siti Aminah dam dua anaknya.
Peristiwa bom bunuh diri di Mapolresta Surakarta modusnya hampir sama dengan terjadi pada peristiwa bom bunuh diri di Mapolresta Poso pada 3 Juni 2013 yang lalu, yakni pelakunya menerobos Markas Polres dengan mengendarai sepeda motor dan meledakkan dirinya ketika berada di dalam lingkungan kantor Polresta Surakarta dan Polres Poso. Korbannya pun sedikit.
Hal ini berbeda dengan peristiwa bom bunuh diri di Mapolresta Cirebon, pelakunya menjadi jamaah shalat Jum’at dan membaur dengan jamaah lainnya termasuk Kapolresta Cirebon di Masjid At-Taqwa Polresta Cirebon, dan meledakkan dirinya saat kemurunan massa banyak ketika akan memulai shalat Jum’at. Korbannya cukup banyak dan massif dibanding peristiwa bom bunuh diri di Polres Poso dan Polresta Surakarta.
Lemahnya Fungsi Intelejen Polri.
Peristiwa bom bunuh diri di Mapolresta Surakarta terjadi di tengah Polri merayakan HUT nya yang ke 70 tahun pada 1 Juli 2016 lalu. Hal ini sebenarnya merupakan “hadiah istimewa” Polri untuk semakin mawas diri.
Polri yang merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri, terlihat kecolongan menghadapi hattrickperistiwa bom bunuh diri di Polresta Cirebon (tahun 2011) dan Polres Poso (tahun 2013) serta peristiwa bom bunuh diri di Mapolresta Surakarta empat hari yang lalu.
Bahkan dalam kasus bom Sarinah di Jakarta, Polri pun terlihat kecolongan atas aksi bom di depan Pos Polantas di Jl. M.H. Thamrin dan berakibat korban luka dan tewas anggota Polri yang bertugas.
Pertanyaannya dimanakah fungsi intelejen yang ada di tubuh Polri itu sendiri ? Dilihat dari segi peristiwanya yang sudah berlangsung tiga kali aksi bom bunuh diri yang menyerang institusi Polri, terlihat betapa lemahnya fungsi intelejen di internal Polri.
Kemampuan untuk mendapatkan informasi mengenai kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat terlihat sangat kurang. Sehingga ruang gerak teroris begitu leluasanya menyerang tiga markas Polres dalam kurun waktu selama 6 tahun terakhir.
Profesionalitas dan kualitas anggota Intelkam Polri pun perlu dipertanyakan. Citra Polri yang sangat buruk di masyarakat mendukung hipotesa bahwa fungsi intelejen Polri begitu lemahnya. Padahal Intelkam sebagai Satuan Kerja ada sejak dari struktur paling atas yakni Mabes Polri hingga di tingkat paling bawah yakni di Polsek.
Apakah ini berkaitan dengan menjelang Idul Fitri, sehingga anggota Satuan Intelkam terutama di daerah begitu sibuknya menyibukkan diri hanya untuk memikirkan kepentingan diri dan keluarganya hanya untuk mengejar apa yang dikenal dikalangan awam sebagai tunjangan hari raya. Sejauh pengamatan penulis, kelihatannya memang seperti itu halnya.
Apapun alasannya, peristiwa bom bunuh diri Polresta Surakarta merupakan “tamparan” bagi Polri di tengah perayaan HUT ke 70 Polri tahun ini, untuk lebih berbenah diri dan melakukan pembinaan internal secara lebih intensif dan serius.
FARID MU'ADZ BASAKRAN
Advokat dan Konsultan Hukum
BASAKRAN & GINTING MANIK Law Office
- Sumber tulisan : dari berbagai sumber
- Sumber Foto : dokumen pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H