[caption caption="Panorama alam di kawasan yang dijuluki Ubud-nya Lombok di Tetebatu, Kecamatan Sikur, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Minggu (12/10/2014). (Sumber: KOMPAS/Hendra A. Setyawan"][/caption]Oleh: Budi Santosa - CropLife
Kebakaran hutan di Indonesia adalah bencana ekologis sekaligus ekonomi. Kebakaran di wilayah Riau saja diperkirakan telah melepaskan sekitar 1,5 hingga 2 miliar ton karbondioksida per tahun. Kerugian ekonomi nasional akibat kabut asap diperkirakan mencapai lebih dari Rp 20 triliun hanya dalam dua bulan belakangan sedangkan Singapura mengklaim kerugian sekitar Rp 16 triliun.
90 persen kebakaran hutan disebabkan oleh manusia atau sengaja dibakar, dengan tujuan untuk membuka lahan baru untuk perkebunan dan pertanian. Konflik lahan hutan vs lahan pertanian terus meningkat karena luas planet bumi tidak pernah bertambah sementara kebutuhan akan pangan dan produk pertanian dan perkebunan yang terus meningkat, seiring dengan pertumbuhan penduduk.
Saat ini, jumlah penduduk Indonesia mencapai lebih dari 255 juta jiwa. Dalam kurun waktu 20 tahun mendatang, penduduk Indonesia akan bertambah menjadi 305 juta jiwa. Bisakah Anda bayangkan dampaknya terhadap kebutuhan pangan dan planet bumi? Ketika itu, planet bumi yang hanya satu ini, harus menghasilkan pangan dan energi dalam jumlah yang jauh lebih banyak.
Sebagian besar dari kita masih beranggapan bahwa peningkatan produksi pangan, harus dilakukan dengan membuka lahan pertanian yang baru. Padahal, ketika kita biarkan tanah pertanian mengambil alih wilayah hutan, maka bencana ekologis dan ekonomi lah yang akan kita dapatkan.
Hutan memberikan jasa lingkungan hidup untuk manusia. Ia bukan saja menjadi sumber air, namun juga berperan sebagai pengatur iklim, tata udara dan siklus tanah, serta merupakan sumber genetika yang sangat penting untuk obat-obatan dan pangan. Hutan juga menjadi sumber pendapatan seperti pariwisata, madu, rotan, buah merah, dan bermacam produk hutan lainnya.
Kita memerlukan terobosan dan berani mengambil langkah penting untuk menerapkan teknologi pertanian yang mampu meningkatkan hasil panen, aman untuk dikonsumsi, tanpa harus melakukan pembukaan hutan. Hal ini tentunya hanya dapat dicapai dengan optimalisasi lahan pertanian yang ada, atau dengan kata lain, kemampuan satu hektar lahan untuk menghasilkan suatu produk perlu untuk ditingkatkan.
Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk peningkatan produktivitas pertanian. Salah satu langkah efektif untuk mencapai itu adalah dengan menerapkan teknologi pertanian, seperti pemuliaan benih melalui bioteknologi. Dengan memadukan sifat – sifat unggulan dalam satu produk tanaman pangan tertentu, bioteknologi memiliki potensi tinggi untuk meningkatkan produksi pangan dan kesejahteraan petani tanpa perlu pembukaan lahan baru. Benih tanaman hasil pengembangan bioteknologi telah terbukti dapat memberikan manfaat nyata dimana para petani mampu menghasilkan panen lebih banyak dengan memanfaatkan sumber daya yang lebih sedikit.
Indonesia, yang dikenal sedikti tertinggal dibanding negara lainnya dalam hal pengembangan bioteknologi, ternyata sudah berhasil menghasilkan tanaman tebu rekayasa genetika. Artinya, Indonesia memiliki kompetensi di bidang bioteknologi sesuai dengan kebutuhan lokasi dan iklim Indonesia, misalnya menghasilkan tanaman biotek yang tahan kekeringan dan hama tertentu.
Indonesia adalah negara yang kaya. Dari segi keanekaragaman hayati darat dan laut, Indonesia menduduki posisi satu dunia. Kita harus menjaga alam Indonesia dari eksploitasi berlebihan akibat tekanan penduduk, dengan mengintensifkan penggunaan teknologi yang dapat membantu kita memproduksi pangan lebih banyak dengan sumber daya yang lebih sedikit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H