Mohon tunggu...
Maria Advenita Gita Elmada
Maria Advenita Gita Elmada Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

I'm a student and a journalist-soon-to-be.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mencoba Berteriak di Dalam Cekikan

15 Mei 2013   09:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:33 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Hidup Buruh!” teriak rombongan orang berbaju sama sambil berjalan beriringan di jalan yang dikepung gedung mewah pencakar langit.

Rabu 1 Mei 2013, Jalan Sudirman tampak berbeda. Biasanya mobil pribadi yang membawa para pekerja kantoran memnuhi jalan itu, berlomba satu dengan lain untuk cepat sampai ke tempat tujuannya. Semua tak peduli dengan sekitar, semua terburu waktu.

Namun siang itu, puluhan atau bahkan ratusan bis parkir di jalur cepatnya. Sedangkan di jalur lambat, ribuan orang berjalan beriringan. Menggunakan seragam yang berbeda-beda antar kelompoknya, tapi meneriakkan tuntutan yang sama, kesejahteraan buruh.

Saya ikut berjalan di sana. Bukan, bukan ikut aksi unjuk rasa. Saya di sana hanya belajar, belajar merasakan apa yang para buruh ini rasakan, belajar tahu dan mengerti keadaan.

“Neng, neng, fotoin kita dong!” Tiba-tiba supir angkot yang sedang istirahat berteriak. Nampaknya mereka bukan bagian dari para buruh, tapi hanya bertugas mengantar salah satu romobongan.

Mungkin karena melihat teman saya membawa kamera dan pakai kartu pengenal pers, disangkanya kami ini wartawan. Ya, memang wartawan, tapi wartawan kampus.

“Siap, Bang! Dari mana nih?” Saya mengambil kesempatan ini untuk sedikit wawancara.

Ternyata supir-supir ini mengantar rombongan buruh dari Bogor, sudah dari jam 8 pagi mereka di sana.

“Macet tadi, Bang?” tanyaku lagi.

“Macet, rame-rame pada dateng ke sini semua,” jawabnya.

Hari ini memang Hari Buruh Internasional, hari rayanya para pekerja yang merasa senasib sepenanggungan. Walaupun punya desain bajunya masing-masing, ada yang sama dari setiap desainnya. Tulisan MAYDAY dan tuntutan-tuntutan bagi kesejahteraan para buruh akan tampak menempel di baju yang mereka pakai. Solidarity Forever juga menjadi slogan yang tertulis dan menggambarkan bagaimana mereka saling merangkul.

Hari Buruh sendiri ada ketika kapitalisme makin merajalela. Di dunia barat sana, sejak awal abad 19 para buruhnya telah melakukan aksi ini. Bayangkan saja, dituntut bekerja 20 jam sehari dengan upah minim dan kesejahteraan yang tak diperhatikan, tentu kelas pekerja ini berontak. Sejarah mencatat 1872 sudah diadakan aksi mogok kerja untuk menuntut pengurangan jam kerja dan perbaikan kesejahteraan.

Di Indonesia pun Hari Buruh telah lama diperingati, sejak 1920. Namun gerakan menuntut kesejahteraan ini sempat terhenti ketika Suharto memipin negeri ini. Takut nampaknya. Sebab ya, kekuatan buruh begitu besar. Bisa dibilang, mereka lah sebenarnya penggerak roda ekonomi negara ini.

Baru setelah Orde Baru selesai, hari ini kembali menjadi hari raya para buruh. 1999-2005, tidak ada aksi berarti dari para buruh. Justru yang ada adalah tindakan represif dari aparat keamanan, takut para buruh ini berontak. Hal ini juga didasari pola pikir lama bahwa aksi buruh didalangi oleh kekuatan komunis. Nampaknya Suharto begitu berhasil menanamkan anti-komunis nya ke benak Bangsa Indonesia yang dipimpinnya selama 32 tahun itu.

Tahun 2006 barulah aksi massa besar-besaran kembali dilakukan. Puluhan ribu buruh dari daerah industri Jabodetabek turun ke jalan, konsentrasi utama adalah Gedung MPR/DPR yang katanya tempat wakil rakyat berkumpul. Tuntutan mereka kala itu adalah menolak revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan yang banyak merugikan kaum buruh.

Tahun-tahun berikutnya, kesadaran para buruh untuk menuntut haknya makin besar. Apalagi, permasalahan buruh bukan sekedar menuntut gaji naik. Masalah mereka adalah masalah hak asasi manusia, di mana mereka meminta diperlakukan layaknya manusia, yang dihormati dan dihargai.

“Ini masalah manusia, kita sedang berbicara tentang manusia,” ungkap Luviana, salah satu korban ketidakadilan. Luviana dulunya jurnalis di Metro TV, dan ia sadar, jurnalis juga buruh, yang harus diperhatikan kesejahteraannya. Ketika menuntut itu, malah pemutusan hubungan kerja yang di dapatkannya.

Itulah gambaran tentang kondisi buruh saat ini. Mereka bagai dicekik oleh para pemilik modal. Tenaganya habis dipakai sedangkan kebutuhannya tak juga tercukupi. Dan kalau melawan sendirian, bisa-bisa dipecat. Padahal mereka butuh pekerjaan. Mereka butuh makan. Mereka butuh menghidupi keluarganya. Jadi tak ada pilihan lain selain menurut dan bekerja.

Namun, itu tidak berarti buruh tidak punya kekuatan. Jumlah mereka adalah kekuatan utamanya. Ibarat sapu lidi, ketika sendiri bisa dengan mudah dipatahkan, tetapi ketika dikumpulkan kekuatannya mampu menyapu sampah yang berserakan. Seperti itulah kekuatan buruh.

Pemerintah dan pemilik modal juga harusnya menyadari itu. Bayangkan saja, aksi yang menurut kebanyakan orang sekedar aksi mogok sehari ini mampu membuat industri merugi hingga ratusan miliar rupiah. Bila jalan keluar tak segera ditemui, berapa banyak lagi uang yang akan hilang.

Masalah buruh ini akan terus jadi masalah sulit, karena menyangkut kepentingan pemilik modal yang tentunya ingin untung besar dengan pengeluaran sekecil mungkin dan bertabrakan dengan kepentingan buruh  yang butuh kesejahteraan.

“Hidup Buruh!” Teriak lautan orang yang berjalan sepanjang Jalan Sudirman menuju Bundaran HI dan terus sampai Monas dan beberapa titik lainnya.

Saya pribadi tak begitu mengerti, jelas, saya bukan atau mungkin belum menjadi buruh. Namun saya rasakan euforia itu. Saya rasakan bagaimana kesatuan dan solidaritas dari orang-orang yang mungkin tak saling mengenal tapi berkumpul dan berjuang untuk hal yang sama.

Walaupun tak memakai baju bertuliskan MAYDAY dengan tuntutan kesejahteraan dan berbagai macam jaminan, saya dan ketiga teman pun ikut berteriak, “Hidup Buruh!”

Maria Advenita Gita Elmada

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun