Syekh Abdurrauf dinilai Ridwan Arif sebagai ulama yang berhasil mendamaikan komplik wujudiah antara kaum tasawuf dan syariat di Aceh pada abat ke-17. Pemikiran keagamaan yang digunakan Abdurrauf dalam merekonsiliasi yang berkomplit, mampu mewarnai perjalanan dinamika tasawuf dan syariat di Nusantara ini.
Penelitian Ridwan Arif yang ditularkan dalam bentuk buku yang berjudul; Syekh 'Abd Al- Rau'f Al-Fansuri ini mampu menjawab problem yang selama ini mungkin masih terngiang-ngiang dalam pikiran masyarakat tentang kajian Abdurrauf yang hingga saat ini menjadi kajian ikutan oleh banyak orang di Nusantara.
Wikipedia mencatat, Abdurrauf bin Ali al-Fansuri as-Singkili (Singkil, Aceh 1024 H/1615 M - Kuala Aceh, Aceh 1105 H/1693 M) adalah seorang ulama besar Aceh yang terkenal. Ia memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatera dan Nusantara pada umumnya. Sebutan gelarnya yang juga terkenal adalah Teungku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syekh Ulama di Kuala).
Ridwan Arif, putra V Koto Kampung Dalam, Kabupaten Padang Pariaman yang jadi dosen tetap di Universitas Paramadina, Jakarta ini mampu mengelaborasikan pemikiran Syekh Abdurrauf pada tasawuf dan syariat.
Ada banyak amalan wirid (tasawuf) yang perlu diamalkan setelah usai melakukan shalat fardu (syariat) yang diajarkan Abdurrauf kepada muridnya. Tentunya, ini menadakan betapa seorang Abdurrauf, adalah ulama yang kuat syariat dan tasawufnya. Kedua kajian itu menjadi penting dalam berubudiyah kepada Yang Maha Kuasa.
Perjuangan Abdurrauf dalam merekonsiliasi dua kekuatan (tasawuf dan syariat) yang sudah lama berkecamuk di Tanah Rencong dan Nusantara itu sangat luar biasa sekali. Sampai-sampai harus menjalani hukuman mati akibat melanggar ketentuan syariat yang diberlakukan secara negara sebelumnya.
Melalui kajian Hamzah Fansuri, ulama Aceh sebelum Abdurrauf yang wafat 1016 H atau 1607 M, paham wahdatul wujud (kesatuan wujud antara khalik dan makhluk) cukup berkembang dan mewarnai paham-paham keagamaan di tengah masyarakat.
Kebesaran dan kealiman Abdurrauf tentu tak bisa dilepaskan dari jejak rekamnya dalam mencari ilmu pengetahuan, sebelum ia menyebarkannya di tengah masyarakat. Dia pertama kali mengaji dengan orangtuanya sendiri, dan berlanjut dengan berbagai ulama, termasuk dengan Hamzah Fansuri dan Shamsuddin Al-Sumatera.
Keinginannya untuk mencari ilmu ke banyak ulama di Timur Tengah pun dicatatnya dengan rapi. 19 Tahun lamanya Abdurrauf berguru dengan banyak ulama di Arabia itu. Tentu berbagai ilmu agama pula yang didapatkannya, sehingga mampu menjadi ulama besar, banyak murid yang akhirnya jadi ulama besar pula di tengah masyarakatnya setelah dia kader.
Dengan latar belakang ilmu yang beragam yang didapatkannya selama di Timur Tengah, juga membuat Abdurrauf memiliki banyak keahlian. Dia mampu melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang, sehingga ketika memberikan jawaban keilmuan, muridnya merasa senang dan aman.
Berbekalkan banyak pengetahuan itu pula, tulis Ridwan Arif, mantan pengurus PC GP Ansor Kabupaten Padang Pariaman yang menyelesaikan pendidikan Ph.D nya di International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC, International Islamic University Malaysia (IIUM) ini, Abdurrauf berupaya merekonsiliasi tasawuf dan syariat dalam konteks persoalan kontroversial, yakni doktrin wahdatul wujud dengan mengemukakan sebuah penafsiran yang sesuai dengan syariat itu sendiri.
Abdurrauf menekankan pentinya umat Islam bersikap bijak, dengan tidak memahami tasawuf secara harfiah. Sebab, ungkapan sufi sering dibungkus oleh simbol yang memerlukan penafsiran. Dengan pendekatan demikian, Abdurrauf mampu menjadikan umat Islam dan para ulama sebagai yang bijak di tengah masyarakat. Ya, bertasawuf dan bersyariat. Keduanya harus dielaborasi, sehingga tak membuat masyarakat larut dalam konflik yang berkepanjangan.