Mohon tunggu...
AD Tuanku Mudo
AD Tuanku Mudo Mohon Tunggu... Penulis - aktivis sosial kemasyarakatan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

penikmat kopi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Atasi Kesulitan Hidup dengan Berbagi, Cara Amak Mengajarkan Kemandirian

6 Desember 2020   16:34 Diperbarui: 6 Desember 2020   16:57 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makan yang tersusun rapi pada saat peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. (foto dok damanhuri)

Sebelum azan Subuh berkumandang, Amak sudah bangun dari tidurnya. Dia bergegas ke dapur. Adonan tepung beras yang diaduknya malan, pagi itu dimasak jadi kue mangkuk. Memasaknya belum seperti saat ini, yang serba cepat dan mudah. Kala itu Amak memasak masih pakai kayu api.

Kue mangkuk terjarang di di atas tunggu dengan api yang menyala, Amak pun memaruk kelapa dengan cara konvensional. Amak cekatan sekali. Kelapa selesai diparuk, kue mangkuk pun matang dari pengukusnya. Waktu Subuh masuk, Amak melaksanakan shalat sebagai kewajibannya kepada Yang Maha Kuasa.

Sementara kue yang matang di keluarkan dari jarangannya, lalu diganti dengan yang baru secara bergantian. Begitu seterusnya. Menjelang matahari terbit, kami anak Amak pun tiba di rumah. Sebab, malam kami mengaji di surau, dan langsung tidur di surau tempat mengaji itu. Tiba di rumah, kami langsung ganti baju dengan pakaian sekolah.

Amak pun telah siap menyusun kue mangkuk itu dalam dulang yang ditata dengan rapi dan apik. Menjelang jam sekolah masuk, kami beradik kakak menjujung dulang yang berisi kue mangkuk itu, sambil berkeliling kampung. Awal mula, saya menjujung, dan kakak saya Afrizal yang menyoraki kepada masyarakat.

Lama juga berdagang keliling sambil sekolah itu. Sampai tamat SD. Kakak saya Afrizal, tamat sekolah langsung merantau. Amak tak lagi punya biaya untuk melanjutkan pendidikan anak-anaknya. Kami kakak beradik sembilan orang. Saya anak nomor dua. Setelah kakak saya tak lagi di kampung, saya jalan sendirian.

Begitu Amak mengajari anak-anaknya, agar kelak mampu mandiri. Berbagi, Memberi, Menyantuni. Itulah cara yang dilakukan Amak. Kadang-kadang, kalau tidak jual kue mangkuk, saya jualan gorengan, juga Amak yang membuatnya. Pokoknya, pagi jelang masuk kelas, saya jualan. Uang belanja sekolah diambil dari hasil jualan itu, dengan sistim hitungan persentase dengan Amak.

Ibarat ikan dengan kail, dalam menyantuni anaknya, Amak selalu mengasih kail. Tak serta-merta mengasih ikan. Artinya, Amak mengajarkan kepada anaknya, supaya anak-anaknya kuat dan mampu tegak surang, kelak bila telah dewasa.

Begitu juga, pada saat menjadikan beras jadi tepung, juga dilakukan Amak dengan cara konvensional. Zaman itu belum ada mesin penumbuk tepung. Yang ada lesung yang digerakkan tenaga manusia. Lama menumbuk, akhirnya beras yang sudah dibasuh itu jadi tepung. Amak pun tak ingin kami anak-anaknya bekerja tanpa dihargai. Pokoknya, semua yang berhubungan dengan ekonomi keluarga, Amak selalu menghargai jerih payah anaknya.

Tidur di surau malam, paginya kami membawa batu atau pasir dari sungai. Guna batu itu untuk membangun rumah. Kala itu kami masih tinggal di rumah pondok kayu. Belum permanen. Dengan cara mengansur-ansur pasir dan batu dari sungai dekat surau, akhirnya bahan bangunan itu teronggok juga di rumah. Kerjaan itu kami lakukan dengan senang hati saja. Amak tak pula memaksa. Yang penting berapa saja batu sanggupnya terbawa, ya kita angkut dari sungai.

Abak, di samping sebagai seorang orang siak di tengah masyarakatnya, juga seorang tukang bangunan. Kawannya banyak, dan ada kelompok tukang yang selalu bergiliran membangun rumah secara kerja bersama dengan kawan-kawannya. Hasilnya, rumah permanen yang dibangun tahun 1980 an yang dihancurkan oleh gempa akhir 2009 itu selesai dengan cara Abak bergantian bekerja bersama kawan-kawannya yang tukang bangunan.

Kemudian, pulang dari sekolah, kami tak seperti anak-anak kampung lainnya. Kami punya tugas dan kewajiban menggembalakan ternak sapi. Sapi yang awalnya satu ekor itu berkembang biak menjadi banyak. Dikembangkan dan banyak, dijual yang uangnya digunakan oleh Amak dan Abak untuk membangun rumah.

Sebab, membangun sebuah rumah tak mungkin semua dengan kerja bakti bersama kelompok tukang. Ada barang-barangnya yang harus di beli. Atau untuk makan tukang bangunan yang tidak pakai upah itu harus juga dengan uang pembeli lauk-pauknya. Amak termasuk orang yang paling gigih berusaha, namun karena anak banyak, usaha tak pula begitu berkembang, tak mampu menjadikan kami anak-anak yang berpendidikan tinggi.

Dari sembilan orang kami beradik kakak, hanya dua orang yang tamat SMA. Saya sendiri, setelah tamat SD melanjutkan mondok di sebuah pondok pesantren yang biayanya tak mahal. Barulah, setelah saya kawin dan punya dua orang anak, bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Lagi-lagi ini tentu semangat dari kemandirian yang diajarkan Amak saat kecil dulu.

Pelajaran mandiri secara perekonomian saat masih anak-anak itulah yang membuat kami saat dewasa semua, mampu mengatasi kesulitan hidup Amak mengajarkan, betapa penting dan perlunya berusaha dalam hidup ini. Begitu juga sekolah dan menuntut ilmu, Amak dan Abak berusaha sekuat tenaganya. Sebab, Abak sendiri sempat menamatkan pendidikannya di Sekolah Persiapan IAIN Batusangkar. Tentu, dia ingin semua anak-anaknya bisa pula sekolah lebih tinggi dari dia.

Namun, karena faktor ekonomi tadi, membuat kami beradik kakak yang berpikir sendiri bagaimana cara melanjutkan pendidikan. Sebatas kemampuan saya, akhirnya dua orang adik perempuan saya bisa menamatkan pendidikan di MAN Lubuk Alung dan Batang Kabung, Padang. Abak merasa tak ada uang lagi. Usia sudah lanjut, kerja sudah tidak ada lagi. Kalau pun ada kerjanya, hanya sesekali diminta untuk memulai pembangunan rumah, karena dia sudah jadi orang tua tukang bangunan di kampung.

Dari pelajaran itu, gelombang hidup yang kami hadapi, terasa bagaikan dinamika yang harus terjadi. Susah dan senang, hina dan mulya merupakan pakai hidup yang harus kita lalui. Namun, berbagi dengan sesama, adalah bagian terpenting. Tanda kita tidak sendirian dalam hidup ini. Amak selalu memberikan makan setiap kali saya membawa kawan ke rumah. Bagi Amak, siapapun kawan yang saya bawa pulang atau datang ke rumah, tak boleh tidak makan.

Yang penting ada. Tak ada nasi yang mau dimakan, ya minum air teh atau menikmati makanan yang dibuat Amat dari pagi, seperti kue mangkuk, gorengan dan lain sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun