Meskipun mayoritas masyarakat ingin adanya masjid, tapi untuk langsung membuat masjid tak serta merta bisa dibuat. Pemegang ulayat Padang Toboh yang tergabung dalam ulayat Sigimba Panjang dibawah kekuasan Sudirman Rangkayo Rajo Mangkuto saat itu tidak membolehkan adanya masjid di Padang Toboh.
Untuk kelengkapan berita itu, sehabis wawancara dengan kepala desa dan ketua mahasiswa tadi, saya langsung pula temui Sudirman Rangkayo Rajo Mangkuto. Hasil wawancara yang saya tulis di buku notes saat wawancara itu, malamnya saya ketik dengan mesin tik. Selesai, besoknya saya antar ke Amiruddin di Pariaman, untuk selanjutnya dia yang mengantar ke redaksi.
Mungkin lantaran beritanya lengkap, rancak dan bagus, diletakkan di paling atas di halaman dalam Padang Pos. Besar judulnya. Di ujung berita dibuat inisial saya, Dmr. Hanya satu inisial. Amiruddin yang membawa naskah yang saya tulis itu tak ingin memasukan inisial dia ke berita saya itu. Senangnya hati ini minta ampun. Saya kasih koranya ke Kepala Desa Padang Toboh Syahiruddin dua eksemplar sambil sekalian saya suruh dia berlangganan koran itu.
Satu berita besar di tahun 2000 itu membuat banyak orang di Padang Toboh itu mengenal saya, dan banyak mendatangi saya sambil bercerita soal banyak hal di tengah masyarakat. Secara perlahan-lahan tapi pasti, di tambah pula Padang Pos hanya koran mingguang, membuat saya lebih leluasa menggali dan mencari informasi di tengah masyarakat Kecamatan Ulakan Tapakis itu.
Dari seorang Kepala Desa Padang Toboh Syahiruddin pula saya banyak mengenal tokoh penting dan kepala desa lainnya di kecamatan itu. Akhirnya, banyak terbit berita dari kampung itu yang selama ini jarang terekspos. Pro dan kontra soal saya yang guru ngaji jadi wartawan pun mulai dipolemiknya banyak orang.
Namun, saya tak ambil pusing. Saya jelaskan saja, bahwa orang surau atau lulusan pesantren banyak yang jadi wartawan. Sekedar menyebut nama, adalah Buya Hamka, ulama modernis yang pernah jadi wartawan, mendirikan koran, sampai menuntaskan penulisan Tafsir Al-Azhar di penjara.Â
Kemudian, KH. Sirajuddin Abbas, seorang ulama Perti yang pernah jadi wartawan, dan banyak bukunya jadi rujukan oleh orang pesantren. Ada buku 40 Masalah Agama yang sangat familiar di kalangan orang pondok, serta banyak buku lainnya hasil karya penulis KH. Sirajuddin Abbas tersebut.
Sementara, KH. Saifuddin Zuhri, adalah ulama NU yang lama jadi wartawan. Banyak karya tulisnya yang jadi referensi bagi penulis lainnya saat bicara soal NU dan politik kebangsaan. Dan saya memang termasuk santri yang terinspirasi dari tiga tokoh ulama itu yang jadi wartawan awalnya.
Perkembangan yang begitu dahsyatnya, membuat Padang Pos tak lagi terbit. Hanya menganggur sebentar, saya putuskan dan diajak oleh teman untuk pindah media. Bergabunglah saya ke Semangat Demokrasi yang kala itu hanya terbit tiga kali sepekan, setelah sebelumnya sempat terbit tiap hari.Â
Rentang 2002-2007, saya setelah di Semangat Demokrasi, berlabuh ke Media Nusantara. Tak sampai setahun, media ini ganti nama menjadi Media Sumbar. Tak teratur terbitnya, saya pindah ke Tabloid Publik. Akhirnya, Desember 2008, saya pindah dan menjadi wartawan Harian Singgalang. Sampai sekarang.
Tak terbilang lagi banyaknya pengalaman menulis, membuat laporan yang saya lakukan, meniti karir di organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Padang Pariaman, yang pada Konferensi 2018 mengamanahkan saya jadi Ketua PWI, setelah sebelumnya dua periode jadi Sekretaris, dan sekali jadi Wakil Ketua.