Bermula dari sering dan suka membaca majalah Media Dakwah saat mondok di Pondok Pesantren Madrasatul 'Ulum Lubuak Pandan, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat (1993-1998), keinginan menjadi wartawan dan penulis tumbuh pula dalam diri saya. Beragam tulisan yang saya baca di majalah yang jadi langganan tiap bulan oleh pesantren itu, dan sesekali saya juga beli koran Republika dan Tabloid Adil untuk tambahan bacaan, membuat keinginan untuk jadi wartawan dan penulis semakin tinggi pula.
Di pesantren, sering guru mengajarkan kepada santrinya, bahwa sebelum menyebarkan ilmu pengetahuan yang kita dapatkan, wajib hukumnya memulai mengamalkan ilmu itu dari diri kita sendiri. Mulai dari Dirinya. Itulah yang membuat orang-orang pesantren tak sembarangan untuk bisa jadi juru dakwah.
Sehabis dari pesantren tahun 1998 itu, seiring era reformasi di mulai di negeri ini. Media massa tumbuh dan berkembang dengan sangat banyaknya. Tak terkecuali di Padang, Ibukota Provinsi Sumatera Barat. Salah satunya terbit Surat Kabar Mingguan Padang Pos, yang saat itu masih pakai SIUPP dari Departemen Penerangan. Kepala Perwakilan untuk Pariaman Amiruddin, langsung menghubungi saya dan mengajak untuk bisa bergabung dengan media tersebut.
Awal masuk Padang Pos, saya tak langsung jadi wartawan. Saya diajarkan mulai dari bawah sekali. Jadi loper namanya. Saya pasarkan Padang Pos di seantero Padang Pariaman. Sekali seminggu itu ada 260 pelanggan yang saya antarkan koran Padang Pos ke rumah dan kantornya. Keinginan untuk jadi wartawan, tak pula saya kemukakan ke Amiruddin. Saya simpan saja dalam hati, dan suatu saat akan saya tularkan lewat banyak membaca yang semakin candu dalam diri saya.
Benar adanya. Di samping mengantar koran sekali seminggu, saya juga seorang guru ngaji di Padang Toboh Ulakan. Akrab dengan Kepala Desa Padang Toboh Syahiruddin. Saya beranikan diri minjam mesin tik kantor desa itu, saya bawa ke surau tempat saya mengajar ngaji. Dari mesin tik itu saya buat catatan. Tak panjang. Berjudul Reformasi Akhlak. Dua setengah halaman kertas hps, lalu saya antar ke Amiruddin untuk di bawa ke redaksi Padang Pos di Kota Padang.
Jumat, sesuai jadwal terbit koran itu setiap pekannya, tampak tulisan saya itu terbit, sesuai judulnya; Reformasi Akhlak Oleh A. Damanhuri. Senang dan dan gembira seketika membucah dalam diri ini. Tiap sebentar tulisan itu di baca, di lihat dan sampai sekarang kliping tulisan itu masih ada.
Itu tulisan pertama saya di koran tahun 1999. Setelah itu, banyak tulisan yang saya buat. Masih menggunakan mesin tik, yang oleh redaksi diketik ulang dengan komputer. Bahkan, hampir tiap pekan ada opini saya yang terbit di Padang Pos. Karena rajin menulis opini yang saya adopsi dari berbagai opini bernuasa agama di Media Dakwah dan Republika tatkala di pesantren dulu, orang-orang redaksi Padang Pos mulai mengenal saya.
Padang Pos mengadakan kemah bakti di Sungai Limau, Padang Pariaman. Pemimpin Perusahaan Padang Pos, mendiang Fadril Aziz Isnai yang akrap disapa dengan panggilan Infai datang, dan secara spontan menyapa saya. "Damanhuri, ya," sapa dia saat bersua saya di arena kemah itu. "Iya, pak," jawab saya sekenanya sambil memandangi wajah dan badannya yang tegap. Â Â Â Â
"Sekarang coba berita buat lagi, biar bisa jadi wartawan," kata dia ke saya. Membuat berita itu, katanya, tidak sulit. Mudah dan sangat mudah sekali. Kuasai 5W+1H, cari kasusnya. Contoh kecil, coba tulis kondisi pantai Sungai Limau ini, dengan bertanya ke pengelola objek wisatanya. Apa yang mesti diperbaharui, dan apa yang mesti ditingkatkannya dalam memajukan objek wisata ini.
Lama saya diceramahi Infai soal cara dan bagaimana sebuah berita layak siar dan terbit di media massa. Sepulang dari kemah itu, saya memulai membuat berita. Sementara, kesibukan mengantar koran sebagai loper tetap saya lakukan. Berita pertama saya, adalah cerita mahasiswa yang sedang ber KKN di Padang Toboh Ulakan. Mahasiswa itu melakukan jejak pendapat di tengah masyarakat Padang Toboh, soal perlu atau tidaknya membangun sebuah masjid di desa itu.
Hasil jejak pendapat secara tertulis oleh masing-masing masyarakat itu akhirnya mayoritas menginginkan adanya sebuah bangunan masjid di desa itu. Saya temui Kepala Desa Padang Toboh Syahiruddin di rumahnya. Pas pula di rumahnya sedang ada ketua mahasiswa KKN tersebut. Mengalirlah cerita soal masjid, jajak pendapat yang dilakukan mahasiswa.