Mohon tunggu...
AD Tuanku Mudo
AD Tuanku Mudo Mohon Tunggu... Penulis - aktivis sosial kemasyarakatan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

penikmat kopi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Orang Siak, Antara Profesi dan Ibadah

16 September 2020   23:42 Diperbarui: 17 September 2020   06:51 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebaik-baik untung adalah jadi orang Siak. Ini pituah guru-guru dulunya dalam memotivasi anak-anak mengaji di surau. Orang Siak merupakan sekelompok masyarakat yang terdiri dari banyak status sosial yang sekaligus membudaya di tengah masyarakat Padang Pariaman.

Mereka yang tergolong orang Siak itu, mulai dari tuanku, labai, pakiah, bilal, garin, santri dan orang-orang yang ikut dalam rombongan mengaji kematian atau mengaji ka puaso.

Orang Siak, adalah mereka yang juga tergolong pemuka agama, banyak beraktivitas di surau dan masjid.

Kalau hari Jumat, orang Siak biasanya paling duluan tibanya di masjid. Dalam sebuah kampung terkenal dengan orang Siak nan baranam, orang Siak nan salapan, dan lain sebagainya.

Ada pula orang Siak itu, hanya pernah jadi pakiah dulunya, lalu di hari tuanya jadi orang Siak di kampungnya.

Pandai pula mengaji alat kampung. Kalau puasa mau masuk, itu hampir tiap malam mengaji di rumah masyarakat. Ada yang tiga sampai empat rumah dalam semalam mengaji dalam rangka menyambut datangnya bulan suci Ramadhan itu.

Mereka mengaji, dikasih makan, sedekah, dan sebungkus lamang oleh tuan rumah. Dan bagi orang rumah, bila tak mengaji jelang puasa itu dianggap kualat.

Sebab, mereka tinggal di tanah yang sudah ada. Tak membeli, melainkan tanah yang dipunyainya secara turun temurun dari yang tua-tua dulunya.

Jadi, mengaji jelang puasa masuk itu menurut para ulama, adalah bertawasul melalui orang Siak. Mendoakan para leluhur yang telah lama meninggal. Baik pusaranya yang dekat rumah maupun yang jauh sekalipun tapi punya hubungan tali darah, dikabarkan ke orang Siak untuk dikajikan.

"Besok malam di rumah kami mengaji, labai. Orang Siak-nya cukup enam orang saja," kata yang punya rumah ke labai sebagai kepala rombongan orang Siak yang selalu melakukan wirid mengaji ke rumah-rumah masyarakat bila ada panggilan.

Pergeseran zaman dan perubahan musim, di kalangan orang Siak pun terjadi perubahan yang cukup signifikan.

Dulu, sedekah untuk orang Siak mengaji itu tidak ditentukan nilai rupiahnya. Sekarang, labai sudah menentukan berapa orang rumah semestinya mengeluarkan uang untuk sedekah buat sekian orang siak yang ikut mengaji di rumahnya.

Masyarakat yang mengaji pun tak mau memberikan sedekah ala kadarnya. Dia menanyakan terlebih dulu ke labai, atau pegawainya labai, berapa sedekah untuk orang siak yang harus diberikan.

Akibatnya, tak banyak lagi rumah yang menyelenggarakan mengaji ka puaso tersebut. Paling masyarakat kebanyakan mendoa dengan seorang orang Siak saja.

Apalagi dengan kondisi perekonomian masyarakat sekarang yang nyaris porak-poranda akibat covid, tradisi mengaji jelang puasa masuk jauh berkurangnya bila dibandingkan dengan zaman dulu.

Khusus saat ada musibah kematian di tengah masyarakat, para orang Siak termasuk garda terdepan. Mulai dari memandikan, menshalatkan, mengajikan mulai dari malam usai dikuburkan, sampai 100 hari wafat.

Inilah yang kata guru-guru, sebaik-baik untung adalah jadi orang siak. Ibadah mantap, beramal rajin, makan dapat, sedekah uang pun dikasih. Lengkap dunia dan akhirat. Tergantung niat orang Siak itu lagi. Apa niat dan tujuannya jadi orang Siak, maka itulah yang didapatkannya.

Orang Siak yang naiknya melalui kaderisasi pakiah, itu akan punya nilai tersendiri. Bacaannya terkenal rancak dan fasih. Sebab, dia mengaji nahwu sharaf dulunya di surau atau pesantren. Dia tak mau sembarang baca, seperti yang terjadi pada orang Siak yang naiknya tidak melalui jalur pakiah terlebih dulu.

Pakiah, adalah mereka yang tengah mengaji di surau. "Dima mangaji, kiah," tanya seseorang ke pakiah yang tengah minta sedekah di kampung-kampung.

"Di Surau Tuanku Jalalein, mak," jawab dia sejujurnya.

Di Padang Pariaman terkenal banyak surau yang mendidik anak-anak pakiah. Surau-surau itu yang berubah nama menjadi pesantren.

Sejak dari Surau Kalampaian yang paling tua di Ampalu Tinggi, hingga surau yang dibangun para tuanku sekarang di berbagai kampung di daerah itu.

Dulu, orang yang jadi pakiah ini tergolong orang yang ekonomi orangtuanya lemah. Tamat sekolah SD dan ada juga yang tamat SMP, tak lagi sanggup untuk melanjutkan pendidikan anaknya, satu-satunya jalan, ya mengaji ke surau.

Di surau mereka mengaji siang dan malam. Kamis dan Jumat libur, dan digunakan oleh pakiah itu untuk minta sedekah ke rumah-rumah masyarakat. Mamakiah namanya. Pakai kain sarung, baju koko lengkap dengan kopiahnya, dan disandang sebuah karung untuk meletakan beras yang dikasih masyarakat.

Mamakiah tak boleh jadi kecanduan. Guru di surau mengisyaratkan, bahwa mamakiah hanya untuk tes mental dan nyali. Mamakiah adalah ujian melatih diri, merasakan kemiskinan, dan merasakan bagaimana hidup susah.

Hidup adalah ujian. Begitu juga kader ulama, harus melewati ujian dan cobaan. Dalam mamakiah banyak ujian yang ditemui seorang pakiah. Ada yang dihina orang, ada yang disuruhnya seekor anjing mengejar pakiah yang tengah mamakiah oleh yang punya rumah. Ada pula yang melemparkan sebuah cangkul ke pakiah, saat berhadapan dengan seorang petani.

Dan macam-macam cobaan dan hinaan yang diterima pakiah di lapangan. Belum lagi cobaan rasa malu ketika melihat seorang anak gadis cantik yang memberikan setekong beras ke karung pakiah.

Sebagai sebuah ujian, tentu ada yang tidak lulus, dan banyak pula yang lulus dengan baik. Mereka yang lulus, teruslah dia mengaji, rajin beribadah, pandai bermasyarakat, dan pada akhirnya diangkat jadi tuanku, aktif di tengah masyarakat, menjadi orang Siak-lah dia.

Yang tidak lulus, baru saja sebentar mengaji mereka lari. Meninggalkan surau, memilih mengadu nasib di kampung orang. Merantau namanya. Di rantau bersua teman sama-sama sepermainan dulu yang telah eksis berjualan.

Numpang awalnya, sambil cari kerja apa yang mungkin untuk dilakukan. Jadi anak buah orang pun dilakukannya, asalkan bisa kerja menghasilkan uang.

Kini, sebutan orang Siak, pakiah, nyaris tak terdengar lagi. Pakiah sudah berganti dengan sebutan yang agak elegan; santri.

Santri ini pun telah menjadi luas. Tidak sekedar orang-orang yang mendalami kitab kuning di pesantren. Mereka yang sekolah di Tarbiyah, mengaji Quran di surau pun santri disebut orang.

Begitu juga lulusan pesantren atau yang tamat mengaji di surau ini tak lagi sebatas jadi orang Siak di kampungnya. Ada banyak job yang diisinya.

Persaingan yang terjadi pada orang umum, para santri pun telah banyak yang ikut bersaing, dan bisa mendapatkannya.

Jadi PNS, ada banyak santri yang jebol untuk profesi yang sekarang disebut ASN itu. Begitu juga di lembaga penyelengga Pemilu, KPU dan Bawaslu juga ada santri yang jadi anggotanya. Malah tiap periode di DPR dan DPRD juga ada dari kalangan orang surau ini.

Santri sekarang sudah bisa membagi waktu. Lulus di pesantren, mereka kuliah di perguruan tinggi. Yakin, usaha pun sampai.

Impiannya jadi orang ini dan orang itu pun dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Sesuai kaji yang didapatkannya, siapa yang bersungguh, dialah yang akan mendapat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun