"Banyak hal-hal yang menjadi larangan di dunia surau yang saya perbuat, yang menyebabkan Buya kesal kepada saya. Tetapi setelah saya klarifikasi, Buya sangat menerima," ungkapnya.
Seperti suatu ketika, lanjut Buchari, dia menghafal pengajian mantiq (logika) dengan cara bersiul dalam kamar, lalu Buya menghampirinya, dan menanyakan, kenapa hal itu dilakukan. Padahal itu perbuatan terlarang di kalangan yang tua-tua.
"Kemudian saya jelaskan, apa yang sebenarnya yang menyebabkan saya bersiul itu, adalah menghafal kajian mantiq, yang memang banyak syairnya, sehingga membutuhkan nyanyian untuk bisa cepat hafalnya," kata Buchari.
Kesimpulan Buchari, Buya adalah seorang ulama yang alim serta mau menerima kebenaran, sekalipun kebenaran itu datangnya dari orang kecil, seperti santrinya sendiri. Kemudian antara Buchari dan Buya sangat nampak sekali saling membutuhkan.
Semenjak Buchari masuk Lubuak Pandan, sampai akhir hayatnya, persoalan yang berhubungan dengan pembangunan fisik pesantren, Buya selalu menyuruh santri untuk menemuinya, dan Buchari pun selalu menuruti apa yang menjadi kemauan Buya, terhadap penambahan asrama dan ruangan belajar.
"Bagi saya melakukan hal demikian, sudah menjadi kewajiban sebagai orang yang pernah menjadi santrinya. Padahal, Lubuak Pandan bukan kampung halaman saya. Tetapi rasa memiliki terhadap perkembangan pesantren semenjak dulu menjadi perhatian utama bagi saya," ungkapnya.