Madrasatul 'Ulum Lubuak Pandan ketika dipimpin Buya, paling menonjol kajian gramatikan dan kajian fiqh (hukum Islam), sehingga kajian tasawuf atau kajian thariqat tidak begitu menonjol. Hal itu terbukti, mayoritas lulusan pesantren ini tidak begitu terkenal kajian tasawufnya.
Buya yang mendirikan Madrasatul 'Ulum dari 1940 M sampai 1996 M, lebih mengutamakan ilmu yang berkaitan dengan hukum Islam, yang merupakan pakaian sehari-hari umat Islam. Setiap yang kita lakukan selalu ada kaitannya dengan ilmu fiqh yang ditulis oleh ulama-ulama yang tidak diragukan lagi kematangan ilmunya.
Namun, bukan berarti Buya tidak memiliki ilmu thariqat. Bagi ulama yang satu ini, thariqat adalah sebuah ilmu yang harus disejalankan dengan kajian hukum, sehingga bisa disingkronisasikan dalam melakukan amalan sehari-hari. Kemudian untuk mendalami ilmu thariqat tidak begitu sulit, bila dibandingkan dengan ilmu fiqh. Untuk ilmu fiqh ini perlu penafsiran yang matang dan didukung dengan banyak referensi dari ilmu gramatika, sehingga fiqh itu mampu dibaca dan dipelajari tanpa harus dibimbing oleh guru.
Salah seorang alumni yang sekaligus khalifah di Madrasatul 'Ulum, Buya Marulis Tuanku Mudo menyebutkan, selama Buya membina santri dan santriwati tidak pernah ia mengajarkan ilmu thariqat kepada santrinya. Begitu juga kegiatan ziarah tidak pernah beliau agendakan di pesantren ini. Tetapi dia tidak pernah melarang santrinya untuk melakukan ziarah ke makam ulama-ulama terdahulu. Kemudian dia paling tidak suka tangannya dicium oleh santrinya ketika melakukan salaman. Artinya, dalam diri Buya tersirat, bahwa dia tidak ingin dikultuskan oleh santri dan masyarakat.
Buya menganjurkan kepada para santri yang pernah beliau didik, untuk lebih mengutamakan pengajaran ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kecerdasan intelektual, setelah keluar dari pesantren itu, seperti tauhid (teologi), tajwib (tata cara membaca Quran dengan baik), ilmu falak (astronomi), nahwu sharaf (gramatika), mantiq (logika) serta sejumlah ilmu lainya, ketimbang mengajarkan ilmu thariqat tersebut. Sebab ilmu thariqat akan lebih mudah dipelajari, apabila kita duluan mendalami ilmu fiqh. Â Â Â Â Â
"Pentingnya mengutamakan kajian fiqh ini bagi bagi Buya, terlihat sehari-hari dia selalu berhati-hati dalam melaksankan ibadah yang berhubungan dengan Tuhan. Mulai dari pelaksanaan wuduk misalnya ketika akan shalat. Hal itu memakan waktu yang cukup panjang, sehingga untuk hal itu, jauh sebelum waktu shalat masuk, beliau lebih duluan melaksanakan hal-hal yang berkaitan dengan kelengkapan shalat dimaksud," cerita Marulis, Kamis 11 Mei 2006 dan Jumat 24 Mei 2002 di Pulau Aie dan Koto Buruak.
Berangkat dari pendalaman ilmu fiqh itu, tercerminlah kedisiplinan dalam diri Buya. Sebab, segala sesuatu diatur dalam fiqh dengan teratur nan apik. Untuk melakukan ibadah shalat beliau paling disiplin. Baik waktu pelaksanaan, maupun tata cara pelaksanaan. Dalam mengajar, disiplin waktu yang telah disepakati. Beliau paling duluan hadir di tempat pengajian, sehingga bagi santri yang belajar pagi langsung dengan beliau tidak bisa bersantai-santai. Sangat jarang santri yang menunggu beliau ketika belajar pagi. Maklum para santri sehabis shalat Subuh, banyak yang mengulang tidur, lantaran kurang tidur malamnya.
Kemudian dampak dari mendalami kajian fiqh, Buya senantiasa melakukan amalan-amalan sunnah. Seperti mewiridkan membaca bacaan yang memiliki fadhilah/kelebihan di sisi Allah swt, selalu mewarnai kehidupannya. Seperti sehabis shalat Maghrib sampai menjelang pelaksanaan shalat Isya, beliau tidak pernah berbicara dengan pembicaraan lain dengan siapa pun, kecuali waktu yang singkat itu dia gunakan untuk melakukan amalan sunnah yang beliau ketahui faedahnya. Kalau ada tamu yang mau berbicara dengan beliau, terpaksa harus menunggu sampai selesai shalat Isya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H