Begitu juga dari segi pergaulan. Santri yang yunior tetap memanggil guru tuo kepada seniornya. Dan sapaan itu berlanjut setelah santri tidak lagi di pesantren. Panggilan guru tuo, meskipun santri tersebut tidak pernah mengaji dengannya, tapi karena sudah tua umurnya dari dia, tetap menyapanya dengan panggilan guru tuo.
Nilai-nilai yang kecil menghormati yang besar, sementara yang besar mengasihi yang kecil menjadi warna tersendiri di lingkungan pesantren berbasis surau. Jadi, kalau Anda ingin mengaji di pesantren seperti itu tak usah khawatir, meskipun tidak ada saudara atau orang yang sekampung di sana.
Anda akan dikasihi oleh santri yang lebih dulu tibanya di pesantren. Begitu juga Anda akan terbawa arus oleh dinamika yang kecil menghormati yang besar, dan yang besar mengasihi yang kecil. Terasa sekali rasa kekeluargaan itu di pesantren. Orang pondok menyebutnya, kawan-kawan yang senasib dan sepenanggungan.
Oleh Buya, kalau ada pengurus surau atau masjid yang meminta guru ke Lubuak Pandan langsung saja dikasih dan diantar sekalian ke surau tersebut. "Sebaik-baik untung, adalah orang siak," kata Buya memberikan motivasi kepada santrinya agar jangan mudah berhenti mengaji.
Orang siak adalah sebutan lain kepada mereka yang bergelar tuanku, labai, pegawai yang mengiri kerja labai di tengah masyarakat. Artinya, semati-mati angin, tamatan surau ini tinggal di surau nantinya, mengajar anak-anak mengaji, mengimami sembahyang lima waktu sehari semalam. Digaji atau tidak oleh masyarakat, yang namanya orang siak tinggal di surau, punya jemaah yang cukup, memimpin jalannya pengajian anak-anak tiap harinya, orang siak itu tidak akan kelaparan.
Ada saja rezekinya. Orang siak itu tahu, bahwa rezeki itu tidak berpintu. Ada banyak pemasukannya dari masyarakat, yang tentu atas kehendak Allah Swt. Itu yang disebut Buya, sebaik-baik untung itu adalah orang siak.
Rezeki dapat, ibadah banyak pula. Yang penting ikhlas dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan tugas dan kewajiban yang dipercayakan oleh masyarakat.
Bagi santri senior yang terbiasa dengan mengajar di Lubuak Pandan, saat diminta mengajar di surau lain, ada beberapa santri asuhannya yang ikut serta tinggal bersamanya. Seperti yang terjadi saat Buya Marulis Tuanku Mudo, alumni dari Kabupaten Solok ini diminta mengajar di Surau Talang Koto Buruak, Lubuk Alung. Ada beberapa santri yang ikut awalnya.
Lama juga Buya Marulis mengajar di Surau Talang Koto Buruak itu. Bahkan santri yang awalnya hanya beberapa orang, dengan sendirinya bertambah banyak. Malah ada pula yang tamat mengaji bersamanya. Surau Talang ini boleh disebut sebagai cabang Madrasatul 'Ulum pertama.
Begitu juga Buya H. Zainuddin Tuanku Bagindo Basa. Alumni Lubuak Pandan yang berasal dari Padang Toboh Ulakan ini sejak diminta mengajar di Surau Pekuburan Lubuak Pua, alhamdulillah hingga saat ini masih bertahan. Hanya bermodalkan beberapa santri yang ikut dengannya dari Lubuak Pandan, kini sudah banyak santrinya. Dan telah sekian orang pula santrinya yang dikukuhkan jadi tuanku.
Sejak 1991 Buya Zainuddin yang populer dengan panggilan Ungku Jangguit itu, nama Surau Pekuburan ditingkatkan menjadi Ponpes Madrasatul 'Ulum Lubuak Pua.
Buya Ja'far Tuanku Imam Mudo, alumni dari Aripan, Kabupaten Solok saat diminta mengajar di Ponpes Darul 'Ulum Padang Magek, Kabupaten Tanah Datar juga ada santrinya yang ikut dari Lubuak Pandan. Baik Buya Marulis, Buya Zainuddin, dan Buya Ja'far adalah representasi dari alumni Lubuak Pandan yang mampu mewarisi ilmu pengetahuan dari Buya dulunya.