Saat lahir, Buya diberi nama oleh orangtuanya Abdullah Aminuddin. Setelah menuntut ilmu agama ke berbagai surau dengan banyak guru dan ulama, terlihat shaleh dalam beribadah, Buya dipopulerkan oleh banyak orang dengan sebutan Tuanku Shaliah.
"Dima mangaji, kiah," kata orang bertanya ke santri Madrasatul 'Ulum. "Di Lubuak Pandan, pak," jawab santri itu. "Ooo, di Surau Tuanku Shaliah, ya". Begitulah ceritanya.
Pergeseran demi pergeseran itu pun terjadi lewat seleksi alam. Dulu, orang mengaji itu disebut Pakiah. Sekarang bahasa Pakiah itu jarang lagi terdengar. Yang ada hanya santri. Begitu juga surau, berganti dengan pesantren.
Dan itu tak terkecuali di lingkungan Ponpes Madrasatul 'Ulum Lubuak Pandan. Dulu hanya orang mengenal dengan Surau Tuanku Shaliah Pengka. Belakangan, hal itu berganti dengan nama Pesantren Madrasatul 'Ulum Lubuak Pandan. Bahkan, awal mula Buya menetap di Lubuak Pandan pada 1940 M, Buya mengajar di Surau Kapalo Sawah (SKS) dulunya.
Surau Kapalo Sawah, adalah surau milik masyarakat Kampuang Guci, Lubuak Pandan. Sampai sekarang surau itu masih ada. Di surau itu masyarakat melakukan berbagai kegiatan keagamaan dan adat istiadat sepanjang masa. Sekarang, santri tak lagi tinggal di surau itu. Melainkan ada banyak asrama di lingkungan pesantren yang didirikan Buya.
Saat bangunan pesantren belum ada, banyak santri zaman dulu tinggal di surau-surau yang ada di sekitar kampung itu. Ada namanya Surau Kandang Itiak, Surau Lereang, Surau Bancah, dan pusatnya Surau Kapalo Sawah. Sejak bangunan pesantren mulai diadakan, para santri yang datang dari berbagai nagari di Minangkabau ini sudah bisa dikontrol, karena berada di lingkungan Buya menetap dan tinggal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H