Jalannya sedikit pincang. Sebatang tongkat dari kayu selalu menemaninya kemanapun kakinya melangkah. Saat berjalan, tampak sekali dia orangnya pendek. Begitu juga kopiyah putih, dan selembar kain basahan biasa menempel di kepala dan badannya.
Wuduknya tak pernah lepas. Selalu berkekalan air wuduk. Setiap kali shalat wajib lima waktu sehari semalam selalu dia berjemaah. Makanya saat waktu shalat masuk, para santri bergegas mengumandangkan azan lewat pengeras suara.
Buya H. Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah (1908 - 1996), merupakan tauladan bagi santri dan masyarakat banyak. Keshalehan yang menjadi pakaian hidupnya membuat ulama besar ini harus dicontoh. Baik dari segi amalan sehari-harinya, maupun cara dia mengembangkan pendidikan di Ponpes Madrasatul 'Ulum Lubuak Pandan, Kecamatan 2x11 Enam Lingkung, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat.
"Mir, Mir, Mir," himbau dia saat akan makan pagi. Mir maksudnya itu adalah Amiruddin, santri dari Ampalu, Kecamatan VII Koto Sungai Sariak yang sering dipanggilnya tatkala akan makan pagi. Buya memanggil Amiruddin itu, adalah untuk melakukan kerja bangunan rumahnya di bagian atas surau.
Amiruddin yang tamat marapulai tahun 1993 ini, adalah santri yang punya keahlian tukang bangunan. Saat Buya membangun rumah, Amiruddin hampir tiap hari bekerja bersama tukang bangunan lainnya. Tak juga didengar himbauan Buya oleh Amiruddin, Uwai pun menyambung dan lebih mengeraskan lagi suaranya, agar Amiruddin cepat naik ke atas anjung untuk makan pagi bersama Buya.
Anjung Surau Tangah itu juga sekalian jadi dapur tempat Uwai memasak. Dapur di bagian beranda yang dibangun memanjang. Nasi masak ditanak Uwai, Buya pun langsung makan bersama santri. Buya tak pernah makan sendiri. Selalu ada santri yang diajaknya makan. Kalau ingin bekerja ke rumahnya, Amiruddin ini jadi langganan makan bersama Buya.
Tapi kalau Buya mau keluar, seperti ke Pauah Kambar atau ke kampung lainnya, tergantung siapa di antara santri yang dibawanya. Itu juga makan pagi dulu bersama santri bersangkutan. Baik yang ikut bekerja di rumahnya maupun yang ikut keluar nagari, santri dapat makan dua kali sama Buya. Yakni pagi dan malamnya setelah selesai dari bepergian.
Sebagai ulama shaleh, tak pernah lepas wuduk, tampak keningnya ada cekungan karena sering sujud. Bacaan ayatnya fasih dan jelas makhrajal hurufnya. Setiap hari tak pernah meninggalkan bacaan Quran. shalat sunnat Duha jadi wirid rutinnya tiap pagi.
Rumida, alumni yang seangkatan dan sama tamat marapulai dengan Amiruddin punya pengalaman tersendiri dalam pelaksanaan Shalat Duha ini.Â
"Sembahyang apa yang barusan kamu lakukan," tanya Buya ke Rumida usai shalat Duha. "Sembahyang Duha, Buya," jawab Rumida sekenanya. Sembahyang Duha apabila dilakukan tiap pagi, orang itu tidak akan pernah miskin selama hidupnya. Itu hikmah Duha sekurang-kurangnya dua rakaat yang disebut Buya ke Rumida.
Pincangnya jalan Buya, membuat banyak orang ada yang menggelarinya dengan sebutan; Tuanku Shaliah Pengka. Tapi gelar resminya adalah Tuanku Shaliah. Dan gelar itu ditulis dengan tulisan Arab di setiap lembaran ijazah yang diberikannya kepada santri yang menamatkan kaji di Madrasatul 'Ulum.
Gelarnya lebih populer dari namanya. Banyak orang mengenal gelarnya Tuanku Shaliah. Namanya Andullah Aminuddin tak begitu familiar di tengah masyarakat. Di sinilah bedanya ulama Minangkabau dengan ulama dari suku bangsa lain. Para kiai di Jawa lebih populer namanya. Di Minang terkenal dengan falsafah, ketek banamo gadang bagala.