Mohon tunggu...
AD Tuanku Mudo
AD Tuanku Mudo Mohon Tunggu... Penulis - aktivis sosial kemasyarakatan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

penikmat kopi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lima Tahun Nyantri di Lubuak Pandan, Bunyi Tongkat Buya Menghilangkan Cerita Mimpi Indah Semalam

27 Agustus 2020   02:44 Diperbarui: 27 Agustus 2020   02:51 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bangunan Surau Tangah berlantai dua semi permanen itu sudah tidak ada lagi. Bangunan yang sekaligus tempat tinggal Buya H. Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah bersama Uwai, kini telah berganti dengan bangunan permanen nan gagah. Kondisi sekarang pun bangunannya lebih besar dari bangunan lama yang telah ditinggal Buya dulunya.

Banyak kenangan di situ dulunya, tentu tinggal dalam memori para santri yang pernah mondok dulunya di Ponpes Madrasatul 'Ulum Lubuak Pandan, Kecamatan 2x11 Enam Lingkung, Kabupaten Padang Pariaman itu. Bila Buya selesai dari mandi dan berwuduk Subuh, tongkatnya berbunyi keras. Saking kerasnya mampu membangunkan banyak santri yang tengah tidur pulas.

Di atas ajung itu pula tempat marapulai mengaji pagi. Marapulai yang merupakan kelas tertinggi di lingkungan pesantren yang berdiri sejak 1940 M itu, langsung belajar pagi dengan Buya. Dan di atas anjung pula tempat santri dan santriwati belajar dakwah alias muhadlarah seminggu sekali. Shalat berjemaah bersama Buya tiap waktu shalat masuk juga dilakukan di atas anjung.

Sedangkan asrama santri perempuan bersebelahan dengan anjung. Ini dimaksudkan agar Buya lebih mudah mengontrol kaum perempuan tersebut. Karena lantai dua terbuat dari papan dulunya, bunyi tongkat Buya pagi-pagi itu terasa sekali membantu membangunkan para santri. Padahal, tiap pagi ada santri yang bertugas piket untuk membangunkan santri di tiga asrama yang ada waktu itu.

Mulai dari asrama Surau Tangah, Gubuk Derita (Gubder) di bagian belakang, dan Anjung Jaya di bagian depan. Sepanjang 1993 - 1998 saya di Lubuak Pandan, ketiga bangunan asrama itu banyak terbuat dari kayu. Hanya Surau Tangah dan Anjung Jaya yang semi permanen. Artinya, lantai dua terbuat dari kayu, dan lantai bawahnya dari bangunan semen.

Zaman saya di pondok dulu, ada banyak guru tuo tiap asrama. Di Surau Tangah terkenal dengan banyak santri dari Singgalang, Kabupaten Tanah Datar, dengan guru tuonya Mansuir. Meskipun ada santri lain dari Anduriang dan Kota Padang misalnya, tetap saja yang dari Singgalang yang jadi sebutan.

Lalu, di Anjung Jaya yang paling dominan dari Aripan, Kabupaten Solok, dan Lumindai, Kabupaten Sijunjung. Sedangkan di bawah Anjung Jaya banyak santri dari Batagak, Kabupaten Agam. Ada guru tuo Ja'far Tuanku Imam Mudo, Ahmad Albar dari Aripan, Asrizal, Nazwir dari Batagak saat itu. Kalau santri yang dari Padang Pariaman juga ada di situ. Saya dan Amiruddin Tuanku Kuniang serta kawan lainnya juga berasrama di Anjung Jaya.

Sedangkan Gubder, dominan santri dari Ulakan dan Koto Baru, Kabupaten Padang Pariaman. Ada guru tuo Lukman Hakim, Afredison, Nafa'i Tuanku Khatib, Ardindas, dan guru tuo lainnya. Meskipun dominan Ulakan dan Koto Baru, Padang Sago di belakang itu, santri yang dari darek juga ada. Seperti santri dari Gunuang Rajo, Payo, Gunuang Bungsu, Kabupaten Tanah Datar lebih memilih tinggal di Gubder tersebut.

Dulu, tiga asrama itu tiga pula dapur umumnya. Masing-masing asrama punya dapur untuk memasak secara bergiliran. Hanya guru tuo yang tidak memasak. Bahkan, guru tuo tak lagi perlu membawa beras kampungnya ke pondok, karena sudah ditanggung oleh santri yang banyak. Dan itu merupakan warih bajawek pusako batarimo sejak dulunya di lingkungan Madrasatul 'Ulum Lubuak Pandan.

Begitu juga soal iuran bulanan. Para guru tuo sudah dibebaskan dari iuran tersebut. Terutama guru tuo yang telah tamat marapulai kaji. Malah kadang-kadang, bendahara pesantren sedikit memberikan uang beli sabun namanya ke guru tuo yang ikut mengajar membantu Buya di pondok. Demikian itu tidak diberitahukan. Semuanya berjalan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, bahwa yang tamat marapulai, nasi sudah tersedia.

Banyaknya guru tuo zaman itu, agaknya sebanding pula dengan santri yang mencapai 300 an orang. Bila tengah malam, desauan air Sungai Batang Ulakan yang mengalir di depan pesantren tak terdengar akibat kerasnya bunyi dengungan santri yang tengah belajar mengulang kaji bersama guru tuo. Jam malam itu biasanya marapulai terlebih dulu mengulang atau menghafal bersama seorang guru tuo. Saking malamnya, sampai-sampai guru tuo pun mengantuk-ngantuk sambil menyimak apa yang dibaca marapulai.

Saat saya tiba di Lubuak Pandan, Amiruddin dari Ampalu, Rumida dari Batagak sedang jadi marapulai, yang malamnya mereka mengulang kaji Tafsir Jalalaein itu bersama Ja'far Tuanku Imam Mudo. Saya ikut juga bersama kawan lain menyimak. Kadang-kadang disuruh membaca oleh Amiruddin. Tujuan mengulang kaji sebelum belajar bersama Buya paginya, adalah untuk kemudahan agar tidak susah saat berhadapan dengan Buya.

Buya adalah guru besar di Madrasatul 'Ulum. Sedangkan pimpinan pondok dijabat oleh Buya Iskandar Tuanku Mudo. Tiap pagi Buya Iskandar selalu mendampingi Buya mengajar marapulai. Kadang Buya hanya satu Tafsir itu, lalu dilanjutkan oleh Buya Iskandar. Penamaan guru besar dan pimpinan itu selalu jadi sebutan dalam setiap kali muhadlarah. Seperti yang terhormat, Buya selaku guru besar, dan Ungku selaku pimpinan.

Dengan telah permanennya bangunan Surau Tangah itu saat ini, adakah bunyi tongkat Buya tiap Subuh? Tentu tidak ada lagi. Buya H. Marzuki Tuanku Nan Basa yang melanjutkan kepemimpinan dan guru besar di pesantren itu belum memakai tongkat. Dan lagi, kalaupun sudah pakai tongkat, bunyinya tak sekeras dulu. Lantai yang dulu papan, kini sudah berganti dengan granit. Kalau dihempaskan tongkat akan cepat punahnya lantai tersebut.

Bunyi tongkat Buya dulu mampu menghilangkan cerita mimpi indah saat tidur pulas. Artinya, begitu keterkejutan santri saat mendengar tongkat langsung berhamburan ke sungai. Buru-buru cari handuk, sabun mandi lalu bergegas ke sungai yang tak jauh dari asrama.

Kalau di Anjung Jaya, guru tuo Ja'far Tuanku Imam Mudo langsung mempercikkan air ke muka santri yang masih tidur. Jadi santri yang tinggal di asrama depan itu, di samping mendengar kerasnya bunyi tongkat Buya, siraman air ke muka juga menjadikan kita terkesima dan langsung cepat-cepat ke sungai.

Demikian itu terjadi, Buya dan guru tuo tak ingin santrinya telat Shalat Subuh. Semua santri harus sejak awal ikut Subuh berjemaah. Karena Subuh adalah waktu yang paling berat sekali. Beratnya bertambah, lantaran ikut menyimak kaji marapulai bersama guru tuo sampai larut malam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun