Sudah menjadi persoalan umum bahwasanya proses dalam meraih cita-cita bukanlah hal yang mudah dan ringan, apalagi instan. Kita harus bisa menerima konsekuensi dari segala perjuangan cita-cita yang kita ingin gapai. Harus siap dengan rasa kecewa, mengorbankan waktu, jauh dari teman, pacar, bahkan keluarga, dan tentu harus siap dengan suatu kejadian bernama kegagalan. Namun, sebelum membahas semua itu apakah teman-teman sudah sekedar untuk memulai ikhtiar demi menggapai cita-cita?Â
Sebelum masuk ke pembahasan lebih lanjut, mari kita lihat paparan terlebih dulu mengenai apa sih itu cita-cita, dan apa yang dimaksud dengan ikhtiar, t .Â
Jika kita intip dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), cita-cita merupakan keinginan kehendak dan tujuan yang terus ada di dalam pikiran supaya dapat diwujudkan pada kehidupannya. Sementara untuk ikhtiar adalah syarat untuk mencapai "sesuatu" atau yang dimaksud dengan daya upaya. Lalu dari kedua pengertian itu tampak lah keterkaitan satu sama lain, yaitu cita-cita akan bisa digapai apabila dibarengi dengan ikhtiar yang serius. Â
Di lingkungan rumah maupun sekolah tempat kita tinggal dan belajar, pasti banyak  dijumpai orang-orang yang serupa dengan judul artikel ini, tetapi kenyataannya bahwa  kebanyakan orang di sekitar  memiliki cita-cita yang butuh ikhtiar besar untuk menggapainya, akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian.Â
Berikutnya akan dipaparkan seseorang yang memiliki keterkaitan dengan judul serta menjadikan alasan kuat untuk menuliskan artikel ini, sebut saja namanya si-A. Cita-cita besar pertama A muncul ketika menginjak tahun pertama jenjang SMA, Â berkeinginan untuk pergi melanjutkan kuliah di negara Jepang karena terpikat oleh suasana baru serta di sela-sela waktu kuliah yang dapat menghasilkan pendapatan sampingan.Â
Keinginan A sudah bulat pada tahun itu, cukup banyak upaya yang sudah dilakukan, seperti mulai mencari informasi mengenai beasiswa yang dapat memberangkatkan menuju negeri sakura,  hidup mandiri dengan tinggal di kost seorang diri, belajar bahasa Jepang intensif secara mandiri, mempelajari seputar kehidupan di Jepang, dan masih banyak lagi upaya yang  dilakukan.Â
Setelahnya barulah terpikir mengenai biaya dan orang tua, yakni dari pembuatan paspor, visa, tiket pesawat, kekhawatiran kedua orang tua kepada anaknya yang pergi jauh merantau ke negeri seberang, dan yang lain sebagainya. Beberapa hal tersebut membuat A terhenti untuk mengejar impiannya, padahal mengenai biaya dapat diusahakan melalui beasiswa yang akan memberikan tiket pesawat, uang saku, bahkan dapat memberikan kuliah gratis tanpa mengeluarkan sepeserpun uang.Â
Lalu masalah kekhwatiran orang tua A dapat diatasi melalui komunikasi yang baik antara  anak dan orang tua, cukup dengan meyakinkan bahwa anaknya dapat hidup mandiri di negara Jepang, yaa walaupun pasti butuh waktu untuk meyakinkan persoalan sebesar itu. Namun A berkeyakinan bahwa dirinya yang sekarang optimis jika dapat melakukan kedua hal tersebut, pasti detik ini persiapan pemberangkatan sudah matang, tapi dalam kenyataannya A mundur dan memilih untuk melupakan cita-cita untuk berkuliah di negara Jepang.
Masuk di tahun kedua dan cita-cita besar, A menemukan kembali hal serupa sebagaimana di tahun pertama.  terobsesi akan materi pelajaran seputar Geografi, tidak perlu waktu lama untuk A menjatuhkan diri sepenuhnya agar mengalihkan segala bentuk fokus demi hal tersebut. Ia kembali mengupayakan agar dapat menjadikan obsesinya sebagai fokus di dunia perkuliahan. Mulai dari hal kecil sampai hal yang cukup besar sudah  dilakukan dan dapatkan dalam prosesnya. Seperti bergabung dengan kelompok olimpiade sekolah, mengikuti perlombaan dengan skala kabupaten hingga nasional, mengesampingkan mapel-mapel sekolah lainnya, hingga banyak meraih medali serta sertifikat sebagai modal untuk memasuki jenjang berikutnya. Namun hal serupa kembali terjadi, dan yang sekarang mampu A pahami adalah bahwa akan selalu ada penghalang untuk segala bentuk cita-cita yang diinginkan.Â
Suatu waktu dalam jam mapel bimbingan konseling A diberitahu bahwasanya Geografi masuk dalam lingkup saintek, bukan soshum. Ternyata selama satu tahun kurang A mempelajari apa yang bukan di ranah kemampuannya. Ia kembali putus harapan dan entah mengapa langsung meyakini bahwa tak akan bisa menjadikan Geografi sebagai modal utama dalam jenjang pendidikan berikutnya, padahal mungkin saja dalam kondisi sekarang maupun kelak A dapat mengupayakan untuk lintas jurusan, walaupun harus lebih meluangkan waktu untuk belajar.Â
Kini di tahun ketiga A tidak mundur dan memilih untuk memiliki obsesi kembali, yaitu untuk berkuliah di tempat bernama Politeknik Keuangan Negara STAN, dan apakah hal serupa akan terjadi lagi kepada impian besar ketiga nya? sebagaimana impian besar pertama dan kedua telah pupus. Tentu tidak, semoga. Ada istilah yang mengatakan agar jangan jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya, yaa meskipun sudah jatuh dua kali, itu bukan menjadi suatu penekanan untuk seseorang agar berhenti berharap menggapai cita-cita.Â
Sedikit tips setelah  memahami kasus A yang telah mengalami dua kali kegagalan dengan alasan serupa yakni, perlunya kemampuan anda untuk mengubah niat menjadi konsep, mengubah konsep menjadi ide, dan mengubah ide menjadi suatu gagasan untuk memulai suatu tindakan. Tentu konsep itu akan menjadikan anda sebagai orang yang satu langkah lebih maju dari orang yang memilih untuk tidak melakukan apa-apa.
Bersemangatlah dalam mengejar apa yang kalian cita-citakan, fokus serta hiraukan segala bentuk distraksi yang ada, tinggalkan yang hanya sementara demi sesuatu yang akan menghidupi dirimu di masa depan, dan sepatah kata lagi dari saya, belajar lah sebanyak mungkin dari pengalaman orang lain. Demikian saya cukupi apa yang ingin saya sampaikan, semoga bermanfaat untuk kalian semua para pembaca. Terimakasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H