Ramadhan selalu menjadi kenangan yang indah bagi umat yang menjalankannya. Selain karena berjuta pahala dan ampunan yang disebar di dalamnya, ramadhan juga menjadi tempat jutaan cerita tercipta. Paling tidak itu juga yang kami rasakan. Pada tahun 2016 saya memutuskan untuk menikahi wanita yang sekarang jadi istri saya. Tentu perjuangan yang menghiasi hingga berhasil naik pelaminan sangat berkesan.
Saya menikah tepat lima hari sebelum puasa. Gadis yang saya nikahi adalah bunga desa kesayangan orang tuanya serta kebanggaan desa tersebut. Sudah menjadi tradisi sebelum lamaran beberapa perwakilan tetua desa berkumpul untuk membahas tentang berapa mahar yang akan dimintakan kepada pihak pria kelak.
Setelah sepakat mereka menyampaikan kepada pihak kami yang datang melamar. Nilai yang amat tinggi disebutkan. Pihak keluarga kami bingung.
Tapi dengan santai saya maju dan berkata "Maaf itu jumlah yang sangat tidak masuk akal. Sejak sebulan yang lalu saya dan anak gadis kalian sudah melakukan survei harga sewa gedung, harga cetak undangan, harga rias pengantin, harga katering, dan harga pendukung lainnya. Kami rasa harganya gak setinggi itu. Ini buktinya saya catat semua secara rinci di dalam buku. Saya hanya mampu membawa mahar dan hantaran sekian, jika dipersulit maka tidak apa-apa jika pernikahan kami ditunda dulu untuk menunggu kesiapan saya memenuhi jumlah yang diminta".
Mendengar kalimat yang lugas dan tegas dari saya, pihak tetua desa dan keluarga calon istri akhirnya surut juga. Ternyata selama ini harga standar yang berlaku di desa itu untuk seorang yang ingin menikah cukup tinggi.
Kenyataan itu sangat mempersulit bagi kalangan pria yang memang berniat menikah dengan niatan tulus namun belum mapan secara ekonomi. Pernikahan kami pun dihadiri oleh banyak keluarga dari dua mempelai dan warga desa.
Setelah pernikahan, saya ditiinggal pulang oleh rombongan keluarga, karena untuk beberapa hari ke depan saya masih tinggal di rumah mempelai wanita.
Di desa tersebut jika ada pernikahan, rumah mempelai selalu ramai untuk beberapa hari, tiap malam warga desa mengaji dan diskusi depan rumah hingga larut malam. Akhirnya saya pun sebagai upaya menghormati mereka, kerap duduk menemani hingga larut pula.
"Mas, gak usah banyak begadang sama kami, tidur duluan aja"beberapa warga pengertian
"Ah, gak apa-apa pak, saya belum ngantuk"sahut saya sekenanya
"Sekarang memang masih kuat mas, tapi ntar saatnya tempur malah loyo"