Mohon tunggu...
Faqih Ashri
Faqih Ashri Mohon Tunggu... Teknisi - The Revolutionist

Bima City, 06-02-1990 Menulis untuk mengetahui rahasia tak tertulis, mendamba setiap pengalaman baru yang tak terlupakan.. City Planner, Content Writer, YouTuber. www.faqihashri.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Memaksakan Sama Apa yang Seharusnya Berbeda

8 Februari 2016   06:15 Diperbarui: 8 Februari 2016   10:02 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selamat pagi semua..

Wah, sudah lama juga ya saya gak nulis lagi. Media sosial menjadi tempat yang luar biasa untuk berbagi pengalaman, keceriaan, dan sekedar inspirasi kecil penyemangat hidup. Bukan untuk (harus) dibaca oleh orang lain, tapi lebih kepada penyalur hobi dan janji untuk terus mengembangkan pikiran. Salah satu hambatan dalam dunia maya adalah kenyataan bahwa teknologi bisa saja dimanipulasi. Begitu yang kira-kira terjadi, sejak minggu lalu akun beberapa media sosial saya menjadi objek “tangan nakal” dalam menjalankan aksinya. Namun kali ini saya tidak ingin fokus dalam “musibah” kecil itu, tetapi lebih tertarik untuk membahas satu topik penting dalam pergaulan di era post-modern. Topik apakah itu? Pejuang-pejuang feminisme biasa menyebutnya emansipasi wanita. Kalau dalam bahasa Jawa, “eman” berarti “sayang”, “sipasi” artinya spasi atau “ruang lebih”. Bisa disimpulkan bahwa emansipasi berarti sayangi dan berikan ruang yang lebih untuk wanita. Hehehe.. Ini jelas-jelas saya bercanda. Tidak ada pengertian ngawur seperti itu.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, emansipasi ialah pembebasan dari perbudakan, persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Wanita semakin kesini makin sadar akan hak-nya, terutama karena doktrin-doktrin dari pemikir Barat. Pikiran wanita Indonesia kemudian terbuka untuk tidak hanya jadi objek kekerasan, perbudakan, penindasan, dan pelecehan. Berangsur-angsur pihak wanita sadar posisi, tak ingin hanya bekerja di rumah, melamar jadi polwan, Pol-PP, supir angkot, instruktur senam, belajar silat dan kungfu, lurah, kepala desa, camat, walikota, gubernur, sampai jadi presiden. Mulai jarang yang pintar masak, kecuali yang memang profesi sebagai chef. Mulai jarang yang telaten menjahit, kecuali yang profesinya sebagai tailor. Mulai jarang yang bisa lama di rumah, kecuali yang kurang beruntung dan memilih menjadi pembantu rumah tangga. Sebisa mungkin posisi mereka sejajar dengan lelaki, wanita zaman sekarang menjadi amat mudah tersinggung jika dianggap lebih lemah dari pria.

Mulai titik inilah kegamangan hati saya muncul. Wanita zaman modern kini menjelma menjadi makhluk yang menakutkan. Mereka punya pijakan hidup bernama KARTINI. Mereka selalu memuja dan menjadikan kartini sebagai pedoman dalam berpikir. Sementara, saat ditanya tentang sejarah hidup seorang kartini, saat ditanya landasan berpikir perjuangan emansipasi wanita oleh kartini; para ibu-ibu modern malah diam membisu. Kartini dahulu melihat ibu-ibu yang hanya menjadi ibu rumah tangga, tanpa diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi, taraf pengetahuannya rendah, sehingga mudah menjadi objek penindasan. Kartini dahulu juga memiliki suami yang berpendidikan yang mengijinkannya untuk mengenyam pendidikan dan mengajak ibu-ibu muda untuk berjuang melepas belenggu dominasi pria.

Kartini tidak pernah menyarankan setelah pendidikan tinggi wanita malah meninggalkan dapur dan menyerahkan sepenuhnya kepada pembantu rumah tangga. Kartini tidak pernah menyeru setelah berpendidikan wanita bebas berkarir setinggi-tingginya sampai waktu di kantor lebih banyak dari pada di rumah. Kartini tidak pernah mendoktrin jika pendidikan wanita lebih tinggi, gaji wanita lebih besar, mereka bebas menginjak-nginjak dan melawan perintah suami.

Aneh memang, wanita zaman sekarang makin sensitif. Pemikiran kartini dicampur-adukkan dengan doktrin sesat kaum feminis Barat. Muncullah sebuah pemikiran “gado-gado” yang jelas ingin membuat perpecahan (mengadu domba) antara wanita dan pria. Islam sesungguhnya tidak melarang wanita untuk bekerja, selama dilakukan dengan cara yang baik.  Sebagaimana telah tertulis dalam Al-Baqarah : 228, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf.”

Sekarang kita lihat fenomena yang terjadi. Seorang suami yang bekerja di sebuah perusahaan swasta memberikan kepercayaan kepada istrinya untuk turut mencari nafkah. Kebetulan sang istri mendapat rezeki sebagai pegawai di instansi daerah.  Mereka memiliki 2 anak yang masih sangat kecil. Sang istri diawal sebelum mendapat kerja berjanji kepada suaminya, kelak setelah bekerja tidak akan menelantarkan anak-anaknya. Namun seiring waktu berjalan, sang istri mulai mendapat tugas menumpuk dari kantor. Dia juga mendapat teman-teman kantor yang beragam. Gaya hidup (lifestyle) rekan-rekan kerjanya itu yang sosialita membuat sang istri terpengaruh. Dia mulai membeli semua barang-barang mewah dengan gaji yang dia miliki. Anggapannya, dia tidak perlu membagi uangnya untuk keluarga, karena ada suami sebagai kepala keluarga. Pulang ke rumah saat menjelang petang (setelah nongkrong cantik) dengan rekan-rekan kerja, sang istri amat sangat lelah. Dia selalu langsung tertidur, tanpa mempedulikan rengekan anak-anaknya. Dia kini sudah sanggup merayu suaminya untuk menyewa jasa pembantu rumah tangga. Begitu seterusnya waktu berjalan, sang istri mulai kehabisan uang untuk mengimbangi gaya hidup rekan-rekannya. Jadilah dia mulai menjilat kepada atasannya. Dia rela menemani bos-nya kencan demi mengais “rezeki” tambahan. Sang suami yang mulai menyadari kejanggalan dan bosan dengan sang istri yang makin jarang melayaninya, kini mencari pelampiasan lain juga. Tanpa sepengetahuan istri, sang suami malah mencurahkan cintanya pada pembantu rumah tangga yang menurut dia lebih tepat disebut ibu bagi anak-anak ketimbang istrinya sendiri. Sepulang dari kantor pun sang suami menyempatkan diri“jajan” diluar.

Nah, jika sudah seperti itu maka harapan untuk membina rumah tangga yang bahagia justru membawa petaka. Semua itu akibat dari pemaksaan ego bahwa wanita berhak mendapat porsi yang sama dengan pria di dalam hal tanggung jawab. Semua akibat aliran pemikiran yang menjejalkan predikat “kolot & ketinggalan zaman” saat seorang istri hanya bekerja di rumah, tidak memakai seragam pegawai, dan jarang memaki makeup. Wanita diciptakan oleh Tuhan dari rusuk lelaki. Kenapa bukan dari tengkorak kepalanya? Kenapa tidak dari tulang tangannya? Karena wanita diciptakan untuk melengkapi, bukan untuk menyaingi, apalagi untuk berkelahi dengan pria. Melengkapi artinya apa saja yang merupakan tanggung jawab pria jangan diambil-alih, jangan dipaksa untuk menggantikannya. Wanita memiliki pekerjaan yang utama, walau bukan satu-satunya, yaitu menjadi ibu rumah tangga. Jikalau ada yang ingin bekerja diluar, tentu harus atas restu suami, dan pekerjaan itu harus tetap dianggap sebagai usaha sampingan.  

Satu permasalahan klasik yang sering menghantui para wanita adalah syndrome terhadap istilah ibu rumah tangga (IRT). Mereka menganggap IRT bukanlah sebuah pekerjaan. Mereka belum bekerja jika belum mendapat instansi atau perusahaan resmi. Belum merasa bekerja sebelum memakai seragam kantoran. Begitu ironis sekali. Rumah tangga sebenarnya ibarat sebuah perusahaan yang sangat besar sekali. Kontrak kerjanya dimulai saat pertama kali diucapkannya ijab-qabul di acara perkawinan. Job description-nya adalah menjaga harta dan rumah suami, membesarkan anak-anak dengan tulus, memberikan pelayanan biologis terhadap suami, membantu bekerja sampingan saat keluarga butuh dana yang lebih. Gaji seorang istri langsung berupa pahala dan surga yang dijanjikan oleh Tuhan.

Zaman sudah terlanjur memburuk. Para wanita sudah sangat banyak yang teracuni pemikirannya. Pokoknya harus kerja kantoran, pokoknya harus kerja di perusahaan. Pokoknya harus pegang gaji sendiri, kalau bisa lebih besar dari gaji suami. Percuma dikuliahkan tinggi-tinggi oleh orang tua, tapi malah ngurusin masalah dapur dan kepuasan biologis suami semata. Begitulah doktrin yang telah mendarah-daging di dalam nadi mayoritas wanita masa kini. Masalah klasik ini kemudian diperuncing lagi oleh kian menjamurnya “kaum penyuka sesama jenis”. Naudzubillah. Wanita yang merasa sudah tidak pernah dimengerti oleh lelaki malah memilih banting setir mencintai sesamanya. Para pria yang merasa kaum wanita terlalu ribet, selalu baper, cerewet; malah memilih melampiaskan hasrat terhadap sesamanya. Akhir-akhir ini, berita tentang kaum yang menyimpang ini kian santer terdengar. Mereka minta keadilan dan pembenaran bahwa mencintai sesama jenis itu bukan penyakit! Hei bung, apa kalian hendak membawa kembali manusia ke zaman penistaan kaum Nabi Luth dan Hud oleh Tuhan? Apakah perlu dibacakan lagi dengan lantang kisah pemusnahan kaum dengan penyimpangan seksual di zaman dahulu? Tobatlah.

Emansipasi wanita sah-sah saja didengungkan oleh mereka yang merasa kaumnya adalah pendominasi jumlah populasi dunia, namun masih belum sejajar dalam segi pemberian hak. Perlu diketahui, pada era sekarang sudah terbuka lebar semua sendi-sendi pemerintahan dan masyarakat terkait pelibatan wanita. Tinggal wanita saja yang harus pandai menempatkan diri dalam posisinya. Bekerja dengan niat baik, cara yang baik, tanpa melupakan kewajiban utamanya. Anehnya, pernah suatu saat seorang ustadz kondang melempar pertanyaan di media sosial tentang seorang wanita yang lebih banyak waktu di kantor dari pada di rumah, saat itu amat banyak para wanita yang menaggapi dengan sinis atau malah menghina sang ustadz. “Kalau belum pernah jadi wanita, lebih baik jangan buka mulut deh”. Sampai ada yang berkata seperti itu. Saya sampai gregetan juga. Itu kan sebuah pertanyaan. Pertanyaan itu dilempar lebih untuk bahan introspeksi diri para ibu-ibu, sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam rumah tangga seperti yang saya contohkan diatas, bukan untuk ditanggapi secara defensif. Itu tidak akan menyelesaikan apa pun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun