“Tuhan, berilah aku kedamaian untuk menerima hal-hal yang tidak dapat aku ubah, keberanian mengubah hal-hal yang bisa aku ubah, dan kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaan antara keduanya” (Reinhold Niebuhr).
Entah sudah berapa banyak kaum bijak yang mengutarakan statement-nya tentang kehidupan yang dinamis, selalu berubah dari waktu ke waktu, bahwa hidup itu bergerak hingga waktu yang tidak bisa ditentukan oleh makhluk hidup sendiri, sebab hidup bukan spekulasi, oleh karena ada Yang Maha Mengatur untuk kita yang berperan sebagai ‘pemain’. Tidak ada yang tidak berubah di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri, begitu kata mereka.
Masalahnya adalah tentu saja mengeksekusi sebuah perubahan tidak semudah mengucapkan kata “perubahan” itu sendiri. Ada sebuah memontum yang tidak mungkin terelakkan, ketakutan atas perubahan yang meminta pengorbanan harta, jiwa, maupun tenaga. Kurang lebih empat belas abad yang lalu, orang yang paling saya kagumi sejarahnya; sosok yang ucapannya selalu menggetarkan relung-relung jiwa yang sedang kering; jiwa fitri yang membawa ajaran yang suci; berusaha menjadi media nyata untuk menyampaikan firman Allah. Ya, Sang Rasul berusaha membawa perubahan dengan usaha maksimal agar sekecil-kecilnya ‘meminta’ pengorbanan dari pihak yang ingin berubah. Tapi anehnya, walau Rasul membawa risalahnya dengan cara damai, tetap saja ada raut ketakutan dari musuh-musuhnya. Mereka takut menghadapi perubahan, mereka anti untuk meninggalkan “sosok” sesembahan mereka yang lebih nyata di depan mata, yang mereka buat sendiri dengan tangan-tangan penuh noda.
Kenapa mereka begitu ketakutan? Mereka berusaha sekuat tenaga menghalau ajaran baru. Mereka bertekad, jika mereka tidak bisa menahan laju perubahan yang disebar oleh ajaran baru itu, ada jalan yang lebih mudah, yaitu membunuh dan menghancurkan hidup Sang Rasul sebagai orang yang mereka tuduh sebagai tukang sihir penyebar ajaran sesat! Sebegitu menakutkan ternyata perubahan di mata orang-orang yang telah lama berada di zona nyaman-nya. Ini poin yang ingin saya kedepankan sekarang. Itu hanya salah satu contoh perubahan yang dibawa secara damai. Belum lagi perubahan ekstrim yang dibawa oleh para personel NAZI Jerman di bawah arahan Hitler, Gerakan Fasis Italia yang diprakarsai Bennito Mussolini, Gerakan bawah tanah yang digaungkan oleh Partai Komunis Indonesia, dan masih banyak lagi lainnya.
Mungkin itu baru dari sisi politis. Jika menilik dari konteks perubahan bidang ekonomi, di negara Britania Raya sebagai tempat tumbuh dan menjamurnya momentum revolusi industri pada periode 1750-1850 juga berhasil menyebarkan benih ketakutan yang sama tentang perubahan ke seluruh pelosok negara-negara lain. Muncul kekhawatiran atas keberlangsungan ekosistem dunia yang sebelum revolusi terjadi, masyarakat dunia begitu mengandalkan sektor pertanian dan perkebunan tanpa alat-alat berat industri yang serba instan. Ada pula ketakutan dari para ahli arsitektur landscape dan pemerhati lingkungan, tentang tatanan kehidupan perdesaan yang akan berangsur dirasuki oleh kehidupan yang hedon akibat lifestyle yang berubah.
Seiring waktu yang telah jauh berlalu, kini kita yang berada di generasi abad-21 mendapati puing-puing sejarah tersebut diatas nyaris hanya sebagai hiasan buku-buku sekolah dan kuliah saja. Tanpa kita sadari bersama bahwa warisan ketakutan dan kekhwatiran dari nenek moyang dahulu sama sekali tidak terpatri dalam diri kita. Kita sudah diwarisi oleh Rasulullah sebuah kitab suci dan Sunnah sebagai pedoman untuk bertahan dalam gelombang atau pun arus globalisasi. Kita dibimbing dalam setiap jengkal gerak-gerik kita agar senantiasa terarah, walaupun Beliau tidak hidup dengan kita saat ini. Satu hal yang paling penting adalah, Indonesia adalah negara dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia. Kita sudah dipatenkan sebagai negara dengan tingkat toleransi tinggi di tengah ke-bhineka-an kita. Masalahnya adalah : kita tidak pernah setakut dan sekhawatir kaum yang dulu dipengaruhi oleh Rasul untuk mengikuti ajaran ini saat dihadapi dengan perubahan yang berbau akidah!
Kita boleh saja berkreasi dan mengeluarkan segenap kreativitas kita dalam hal beramal dengan sesama manusia untuk menggapai pahala sesuai ajaran-Nya. Tapi dengan sangat menyesal saya melihat banyak hal-hal berbau syariat dan akidah yang kemudian sangat mudah untuk dipermainkan tanpa sebuah ketakutan. Agama bukan dogma buta, tetapi jika orang diluar sana sangat peduli dengan keberlangsungan agama dan jumlah pengikut mereka, kenapa kita sedemikian cuek dan tidak menyadari akan zona nyaman kita??
Jika kita masih berleha-leha dengan zona nyaman kita, maka saat itu pula kita akan tetap nyaman menerima berbagai propaganda dari luar yang menyusup perlahan dari sendi-sendi paling halus dalam kehidupan ini, sesuatu yang kita tidak melihatnya, namun sangat terasa dampaknya.
Kurangi untuk memandangi gadget jika memandanginya berlebihan bisa meruntuhkan sisi humanis dari sebuah pertemuan dan interaksi sosial. Kita dibuat makin individualis dengan penerapan teknologi yang katanya makin canggih.
Kurangi sisi egois dalam bertetangga. Jika dahulu saat momen berbuka puasa di bulan Ramadhan saya sering melihat para ibu-ibu yang mondar mandir ke rumah tetangganya untuk berbagi makanan berbuka seala-kadarnya, namun sekarang para ibu-ibu sering beralasan makanannya “sudah gak pantas dan gak kekinian untuk dibagi, mungkin tetangga gak akan mau nyicipin”. Padahal berbagi itu maknanya berterima kasih, jadi ketika kita menerima sebuah pemberian, secara tidak langsung kita melatih seseorang untuk menebar kebaikan yang sama untuk orang di sekelilingnya, sehingga terbentuklah siklus indah bernama terima dan kasih.
Kurangi membahas dan berteriak tentang politik selama politik yang kita bicarakan hanya mempemulus niat asing untuk mengobrak-abrik sistem negara ini. Bicaralah politik local yang bergaung nasional bahkan internasional, jangan pernah bawa dogma bahwa ‘pikiran’ barat tu keren untuk diimplementasikan dalam sendi kehidupan lokal.
Kurangi pandangan nyinyir dan menggunakan sebelah mata terhadap orang yang berkepercayaan lain. Rasul aja mengingatkan bahwa jangan sampai kebencian kita terhadap suatu kaum membuat kita memperlakukan mereka tidak adil. Kalau pun ada yang mengajak untuk berubah, jangan sampai menyentuk sisi akidah. Kita saling menghormati kepercayaan kita. Lakum dinukum waliyadin.
Terakhir, saya ingin mengatakan bahwa perubahan yang sangat menyakitkan jika itu mengarah pada kemunduran dan kerusakan. Jika orang lain di luar kita begitu khawatir akan perubahan yang akan merombak tatanan kehidupan yang dipercaya telah sesuai dengan keyakinan mereka, lantas kenapa kita tetap nyaman dengan perubahan yang mengancam keutuhan sistem keyakinan ini? Tuhan tidak selalu turun tangan mengatur siapa yang mempengaruhi siapa di dunia ini, tetapi Dia hanya akan melihat siapa pemenang dari kehidupan. Hehe..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H