Amerika Serikat tidak memiliki sekolah khusus vokasi pada level pendidikan menengah seperti SMK di Indonesia. Mereka "menempelkan" program pelatihan vokasi di sekolah menengah atas umum. Tempelan ini diberi nama "vocational training" dimana siswa sekolah menengah atas bisa memilih untuk ambil pelatihan vokasi jika memiliki keinginan untuk terjun ke dunia kerja setelah lulus.
Tingkat Minat Masyarakat
Program vokasi ini telah dimulai sejak tahun 1917, dimana pendidikan vokasi dibiayai negara. Namun tampaknya program ini tidak terlalu diminati oleh masyarakat karena beberapa alasan. Diantaranya karena ada semacam kegalauan di masyarakat bahwa program vokasi yang terlalu dini bagi anak-anak usia sekolah bisa mempersempit "peluang masa depan" mereka dalam berkarir. Pemilihan serta pengambilan keputusan untuk mengambil jalur pekerjaan tertentu di sekolah menengah atas dianggap terlalu cepat. Alasan lain adalah kenyataan bahwa gaji lulusan perguruan tinggi ternyata lebih tinggi dan terus naik.
Hal yang sama tampaknya juga terjadi di Indonesia, bahkan kalangan pendidik SMK sendiri merasa galau karena lulusan mereka yang memiliki kualitas tinggi pun terpaksa harus terus menjadi "buruh" di industri karena mereka "hanya" lulusan SMK.
Namun Indonesia berbeda dibanding Amerika Serikat dalam hal pertumbuhan tingkat minat masyarakat yang ingin masuk jalur vokasi di sekolah menengah. Slogan "SMK Bisa" telah menjadi suatu fenomena yang menakjubkan dalam merubah pandangan masyarakat terhadap pendidikan vokasi dini di SMK. Begitu besarnya peningkatan minat ini sehingga lembaga pendidikan vokasi baik negeri maupun swasta yang baik mulai kewalahan menampung limpahan peminat.
Strategi Kedepan
Melihat rendahnya minat dan persepsi masyarakat terhadap program pelatihan vokasi di sekolah menengah atas, maka Amerika Serikat mulai berpikir untuk merubah strategi pendekatan yang diterapkan. Sebagian besar kalangan, baik politisi maupun dunia pendidikan, tetap memiliki keyakinan bahwa program ini baik dan krusial dalam membantu pertumbuhan ekonomi.
Salah satu cara yang dilakukan adalah "rebranding" dengan mengubah nama program menjadi “career and technical education” (CTE). Konsep ini juga lebih jauh dibuat lebih fleksibel. Siswa yang mengambil CTE tetap bisa melanjutkan ke perguruan tinggi umum, mengambil program pelatihan kerja setalah lulus, atau langsung bekerja.
Model lain yang sukses disebut “career academies”. Dimulai di Philadelphia tahun 1969, kemudian ditiru di California era 1980an. National Academy Foundation ikut memperkenalkan dan menjalankannya di beberapa tempat lain. Kalau di-Indonesia-kan bisa berarti "akademi karir". Program ini menggabungkan kurikulum akademis dengan teknik dan menyediakan kesempatan pada siswa untuk mendapat pengalaman kerja. Mirip CTE dimana tidak terjadi pemisahan yang kaku penjurusan di SMA. Para siswa yang mengambil pelatihan teknik/vokasi masih tetap bisa mengikuti pelajaran umum agar mereka tetap bisa masuk perguruan tinggi.
Penerapan konsep semacam ini juga juga telah secara agresif dilakukan di Indonesia. Sejak beberapa tahun lalu siswa SMK dapat masuk perguruan tinggi, begitu pula siswa SMA bisa masuk Politeknik. Sama sekali tidak ada pembatasan, siswa SMA jurusan IPS bisa masuk Fakultas Kedokteran. Bahkan banyak kasus "lucu" seperti lulusan SMK jurusan Tata Boga bisa masuk Fakultas Kehutanan, dll. Pembatasannya hanya ada di tes masuk perguruan tinggi.
Strategi ini sukses meningkatkan tingkat minat masuk SMK. Bahkan banyak siswa masuk SMK yang sama sekali belum memiliki keyakinan penuh untuk bekerja, namun jika pada detik-detik terakhir mereka tetap ingin masuk ke perguruan tinggi, mereka bisa ambil bimbingan belajar intensif diluar sekolah.
Pentingnya Pemahaman tentang Karir
Dari dua pengalaman diatas, ada satu hal menarik yang bisa didiskusikan yaitu tentang pemahaman karir bagi para siswa SMA, bahkan bisa dimulai sejak SMP. Ketika seorang siswa memilih untuk masuk suatu jurusan tertentu di SMK atau SMA, maka sebenarnya mereka telah memutuskan sesuatu hal yang sangat penting dalam kehidupan mereka. Suatu keputusan karir yang akan "mengungkung" kehidupan mereka pada satu jalur kerja tertentu. Tentu saja keputusan bisa dirubah ditengah jalan, misalnya pindah dari SMK ke SMA atau sebaliknya, namun akan terjadi kerugian waktu dan tentu saja kerugian sumber daya dari sisi siswa maupun institusi karena akan terjadi pengulangan proses pendidikan. Rugi waktu, biaya, kesempatan, dll.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak sekali siswa pada level sekolah menengah atas ini masih belum memiliki ketetapan hati dalam memilih jurusan. Tidak ada sama sekali suatu program yang memberikan pemahaman tentang pilihan karir kedepan. Atau mungkin usia lulusan SMP memang masih terlalu muda untuk membuat keputusan sepenting itu?
Saya pikir pendekatan Amerika Serikat lebih menarik, kegiatan dalam vocational education di sekolah menengah juga mencakup materi pemberian pemahaman tentang dunia kerja dan karir. Ini akan bisa menekan banyak pemborosan dalam proses pendidikan di Indonesia. Lihat tulisan saya sebelumnya tentang Pendidikan Vokasi Kontemporer.
*) Penulis adalah peneliti pendidikan vokasi di http://1ptk.blogspot.com/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H