Waktu itu bulan Februari. Musim hujan masih terus berlangsung dan hujan bisa turun sewaktu-waktu. Udara lembab menyisakan aroma tak sedap. Bukan hari yang cocok untuk berjalan-jalan.
Tapi toh aku tetap harus pergi ke petshop untuk membeli makanan kucing-kucing kesayanganku. Maksudku, sebenarnya, kucing-kucing kesayangan istriku. Aku toh menyukai mereka hanya untuk menyenangkan hati Nina. Dia penyayang kucing dan aku sempat menentangnya di awal pernikahan kami. Tapi sekarang aku mengalir saja mengenai kucing. Aku bosan bertengkar tentang kucing. Lagipula kadang kucing menyenangkan, terutama yang masih anak-anak.
"Bagaimana kabar si empus, Pak? " tanya pelayan petshop dengan ramah. Aku menyukai keramahan itu walaupun aku paham sepenuhnya bahwa keramahan itu semata-mata demi kelangsungan bisnis petshop itu sendiri. Tapi, apa pun masih lebih baik.
"Mereka baik," ujarku. Hampir saja kukatakan bahwa si Tobi yang buntutnya mirip buntut kelinci itu sedang kuyu. Tapi aku tak ingin memperpanjang keramahan yang tak otentik itu. Jadi, biarlah mereka tak tahu menahu tentang Tobi.
"Semuanya empat puluh delapan ribu, Pak, " kata pelayan. Lalu kesibukan membayar, menerima belanjaan dan kembalian berlangsung hingga seorang perempuan masuk dengan seekor kucing di gendongannya.
"Prim!" secara reflek aku memanggil kucing yang digendong perempuan itu. Perempuan itu seketika memandangiku dengan kening berkerut. Mungkin ia sudah menyimpulkan bahwa aku sok kenal.
"Miauw! " kucing itu bereaksi melihatku. Itu memang Prim. Dia mengenaliku.
"Anda kenal kucing ini? Saya memungutnya dari pasar barusan. Tak tega saya melihatnya kebingungan dan hampir setiap kaki yang didekatinya memberinya sambutan berupa tendangan. Saya tak habis pikir seseorang yang tega membiarkan makhluk lucu yang malang ini di pasar."
"Tidak," sahutku tanpa melihat Prim lagi yang tampak berbinar melihatku, "Ia mirip dengan kucing saya yang sudah mati. Namanya Prim."
"Prim?" tanya perempuan itu. Aku mengangguk, Â dan seketika kucing itu meronta dari gendongannya, melompat ke bawah dan menghambur ke kakiku. Ia lalu mengendus ibu jari kakiku dan berguling-guling manja.
"Tapi, ia seperti terbiasa dengan anda?" kata perempuan itu.