Suram memegangi botol plastik berwarna hijau. Tangannya gemetaran dan wajahnya basah oleh keringat. Semalam ia sudah yakin akan keputusannya, siang ini tinggal melaksanakannya saja, dan selesai.Â
Tadi ia masih mantap dan malahan semakin mantap ketika melangkah ke toko di ujung jalan desa. Tapi ketika ia tiba kembali di rumah dengan botol hijau di tangannya, ia bimbang.
Ia merasa mual dan rasanya seperti mengambang. Tidak menginjak bumi. Rasa takut mulai mencampuri rasa bimbang, sedikit demi sedikit. Dan dalam pikirannya ia mulai memikirkan sekaligus teringat akan banyak hal.
'Aku tak takut mati,' pikirnya. Ya, ia memang sudah mantap mengenai hal itu. Menurutnya itu pilihan terbaik yang bisa diambil saat ini. Tapi bagaimana jika tak mati? Racun dalam botol hijau itu hanya membuatnya sekarat dan tersiksa?
Orang-orang akan mengerubunginya dan tahu ia mencoba mengakhiri hidupnya, tapi gagal.Â
'Mereka akan menolongku,' pikirnya. Bukan hanya agar ia tetap hidup semata-mata, tapi agar mereka masih tetap punya harapan hutang mereka dibayar. Suram semakin bimbang. Keputusannya sekarang menggantung karena ia takut racun itu tak sanggup membunuhnya tapi malah mempermalukan dirinya.
Sudah banyak cerita tentang orang yang gagal mengakhiri hidup, karena racun yang kurang mematikan. Hasilnya, mereka ditolong dan tetap hidup dengan menanggung malu.
'Aku tetap pada keputusanku,' pikir Suram, 'tapi aku tak mau malu, aku harus berhasil!'
Ia lalu ingat berita menghebohkan tentang seorang perempuan yang mati seketika karena, menurut berita, di dalam kopi yang diminumnya diam-diam diberikan racun sianida oleh temannya sendiri. Kata berita pula, seseorang bisa mati tanpa perlu menunggu dirinya sadar bahwa ia keracunan, bahkan jika ia hanya menelan sedikit saja sianida.Â
Sianida. Ya, aku membutuhkan jenis racun yang seperti itu, sedikit langsung mati, tak perlu harus minum hingga sebotol banyaknya. Suram kembali mantap dengan keputusannya. Ia harus mendapatkan sianida itu, dan kalau bisa, segera.
'Tapi, di mana aku bisa mendapatkan sianida jika tak pergi ke kota?' pikirnya lagi. Manakala hal itu disadarinya, rasa bimbang kembali lagi. Hari-hari ini pergi ke kota adalah satu masalah jika kau tak memiliki motormu sendiri. Angkutan  sekarang sama sekaratnya dengan hidup Suram. Lagipula, di toko yang mana ia bisa mendapatkan sianida?Â
Kalaupun ia menemukan toko yang akan memberikannya sianida, berapa harganya? Bagaimana kalau ternyata mahal dan uangnya tak cukup? Ia bisa berkarat di kota sana.
Suram mendesah. Pilihan untuk mengakhiri hidup ternyata sama sulit dengan pilihan untuk tetap hidup dengan banyak masalah yang harus dihadapinya.
'Kalau saja aku kaya, tentu mudah saja kudapatkan sianida dan urusanku selesai,' pikirnya lagi. Hati kecilnya membenarkan apa yang baru saja dipikirkan, tapi sesaat kemudian sisi hati yang lain mengatakan, 'Kalau kau kaya dan kau beli sianida untuk mengakhiri hidup, maka itu adalah kebodohan terhebat yang pernah ada. Bukannya kau bisa membayar hutang-hutangmu dan hidupmu tenang?'
Suram tergelak tiba-tiba demi menyadari hal itu. Tergelak karena perang batinnya menyisakan kelucuan akan dirinya dan ia terdorong untuk mentertawakannya.
Lalu tiba-tiba ia diam. Suram memandangi botol hijau itu kembali. Membuka penutupnya yang masih tersegel, dengan sekuat tenaga. Bau sengak menyengat hidung ketika penutup botol itu berhasil terbuka dan Suram mencoba menghirupnya.Â
'Tidak,' pikirnya. Meski menyengat, aroma cairan di dalam botol itu tak cukup meyakinkan Suram. Ia tak yakin akan langsung mati. Pasti ia akan sekarat begitu lama dan itu menyakitkan.Â
Belum lagi jika nanti orang-orang berdatangan, melakukan apa pun untuk menolongnya semata-mata demi keselamatan uang mereka, bukan karena kepedulian mereka pada keselamatannya.
'Tidak,' pikirnya lagi, 'aku harus mendapatkan sianida. Lagipula aku bukan orang kaya. Membeli sianida untuk mengakhiri hidup bukan kebodohan.'
Ia tergelak lagi karena ia merasa memenangkan perang batinnya.
'Tapi, tak ada salahnya kucoba,' pikirnya, 'kalau kuminum semuanya, pasti langsung mati.'
Suram merasa jantungnya memacu ketika mulut botol itu ada di depan mulutnya. Bau sengak seketika menggoyahkan keyakinannya. Ia tak takut jika harus mati, tapi ia takut sekarat dan tersiksa. Ia takut racun dalam botol itu terlalu lama bekerja sehingga orang-orang terburu menolongnya demi uang mereka.Â
Botol hijau itu kembali ditaruh. Pikirannya menggapai-gapai sianida, tapi buntu karena itu jelas jauh dari jangkauannya. Ia mencoba menguatkan kembali keputusannya, dan mencoba meyakinkan dirinya kembali bahwa tak perlu mahal dan jauh hanya untuk mengakhiri hidup.Â
Keyakinan itu kembali datang, tapi kembali goyah ketika mulut botol hijau telah berada di depan mulutnya dan menghamburkan aroma menyengat. Sepanjang petang hingga malam Suram berjibaku untuk melaksanakan keputusannya mengakhiri hidup, tapi perang batin dan aroma menyengat racun di dalam botol hijau itu membuat keputusan mengakhiri hidup itu mengambang, hingga akhirnya malam datang.Â
Suram yang kelelahan dengan perang batinnya tiba-tiba didatangi seseorang yang membawa bungkusan. Orang itu menanyakan apakah ia yang bernama Suram. Suram membenarkan dengan lemah, tapi ketika orang itu mengatakan bahwa ada kiriman untuknya berupa sianida, Suram langsung sumringah. Ia bangkit untuk menerima kiriman sianida itu. Ia bahkan sampai lupa siapa yang mengirimkan sianida itu ketika orang itu pergi.Â
Suram menimang-nimang bungkusan itu lalu membukanya dengan paksa. Didalamnya ada sebuah botol kecil dan bertuliskan SIANIDA, besar sekali. Ia heran sianida yang tadi dibayangkannya tiba-tiba sudah ada di tangannya.Â
Ia merasa sudah tiba waktunya dan ia tak perlu mengucapkan apa-apa untuk Mainah, istrinya dan keempat anak-anaknya. Maka Suram segera membuka tutup botol itu.
.
......Â
"Kang! Kang!"
"Kang! Kang!"
"Kang! Bangun, Kang!"
Suram geragapan mendengar suara Mainah sayup-sayup di telinganya. 'Aku sudah mati?' ia bertanya-tanya sambil melihat sekelilingnya. Ia masih berada di kamarnya. Ia mencari-cari botol sianida dalam botol kecil yang diterimanya dari seseorang tadi. Tapi tak ada.Â
Yang didapatinya malahan botol hijaunya tumpah di lantai kamarnya. Saat ia dikejutkan panggilan Mainah tadi tanpa disadari tangannya menyenggol botol hijau di atas meja di mana ia tertidur telungkup. Suram segera memungut botol hijau itu. Isinya sudah tumpah di lantai dan hanya tersisa sedikit saja.Â
Sekarang kesadarannya kembali. Sianida yang dicarinya tak ada. Ia hanya bermimpi ada orang memberinya sebotol racun sianida.
"Kang!"
"Ya!"
Suram terduduk kembali sambil menyesali kenapa ia tak langsung meminum racun dalam botol hijau itu.
'Kalau saja aku langsung meminumnya. Pasti aku sudah bebas sekarang.'
Suram kembali memikirkan sianida. Ia akan mengusahakannya nanti.Â
'Paling tidak aku sudah tahu seperti apa botolnya,' pikirnya.Â
Pesantenan, Desember 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H