Namanya Ben. Ya, aku sedang ingin bercerita tentang seseorang yang dua hari lalu menegurku di shelter bus. Ia mengatakan bahwa perhiasanku begitu mencolok dan itu tak baik untukku. Aku sedikit gugup dengan kata-katanya yang tiba-tiba.
"Terima kasih," kataku pada saat itu. Untuk seseorang yang mengingatkanmu, ucapan terima kasih itu kurasa sudah seharusnya.
"Akhir-akhir ini bahkan di dalam rumah sendiri kita harus berhati-hati," imbuhnya. Memang.
Aku mengangguk dan memberinya sedikit senyum agar ia tahu aku menghargai peringatannya.
"Namaku Ben."
Modus, pikirku. Kau baru saja mendapat apresiasi, tapi kau malah ingin aku langsung meralatnya.
Aku tersenyum saja dan bus yang berhenti di depan kami menyelamatkanku dari seseorang bernama Ben yang baru saja mengingatkanku, demi membuka jalannya mendekati wanita di shelter bus.
Orang itu, Ben, tidak masuk ke dalam bus dan hatiku bersorak. Dari kaca jendela kulihat ia tersenyum dan melambaikan tangannya yang berkilat-kilat.
Aku tersenyum juga karena bisa melepaskan diri dari orang asing yang mencoba mendekatiku dengan sok bijak.
Tapi senyum kebebasanku tak bertahan lama. Sesuatu secara sontak mengejutkanku. Sesuatu yang membuat tangan orang itu tampak berkilat-kilat.
Aku meraba leherku, lalu melihat tangan dan jariku. Seketika keringat dingin memandikanku menjadi beku. Kalung, gelang dan cincinku lenyap.