Maya selalu menceritakan senyum kekasihnya yang memukau. Aku sempat bertanya, ketika ia menceritakan hal itu untuk kali pertama, bagaimana senyum yang memukau itu, apa itu sama dengan senyum yang mempesona, atau memikat, atau bagaimana.
Ia menjawab, bahwa memukau itu lebih dahsyat dari mempesona, atau memikat.
“Kau seperti terkena hipnotis,” kata Maya, “tidak mampu berkata-kata...”
Entah apa lagi. Maya begitu bangga dengan kekasihnya sampai-sampai aku seperti harus mengetahuinya.
Sesekali aku tak lupa memperhatikan jika melihat kekasih Maya untuk melihat seperti apa senyum yang memukau itu. Semakin aku melihat senyum kekasihnya, semakin aku merasa bahwa Maya berlebihan. Senyum tetaplah senyum.
Mungkin karena ia sangat mencintai dan membanggakan kekasihnya maka ia begitu bersemangat, seakan tak ada yang lebih hebat dari kekasihnya, sampai akhirnya aku tahu bahwa ia tidak hanya membanggakannya padaku, tapi juga pada beberapa teman lain.
Seorang temannya mungkin sama juga sepertiku, sering mendengar cerita Maya tentang senyum kekasihnya yang memukau dan lalu memperhatikan senyum kekasihnya.
Celaka, cerita senyum yang memukau itu rupanya membuat sang teman ikut terpukau, dan suatu ketika kekasih Maya terpukau pula senyum sang teman. Maka keadaan mulai berubah dan senyum memukau kekasihnya tidak lagi membanggakan, tapi menyedihkan.
Senyum kekasihnya itu tidak lagi ia katakan memukau, tapi menyakitkan.
“Senyumnya masih sama,” ujarku.
“Tapi senyum itu sudah jadi milik orang lain,” kata Maya.
Aku berpikir lagi, “karena itukah namanya berubah?”
Maya diam dalam muramnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H