Langit telah berwarna senja, tapi ia tampak begitu memukau dengan goresan warna lembayung sayu yang penuh misteri. Begitulah, langit tak pernah kehilangan pesona, meski, ia telah menjadi langit senja.
Mungkin langit seperti cinta. Atau, cinta sama seperti langit. Mungkin.
“Kadang-kadang, aku memikirkanmu ketika aku bersama istriku,” Putu berkata pada Indira, yang menatap sepasang mata Putu dengan sepasang matanya, lekat-lekat, dalam-dalam, seakan ingin menyelam sedalam-dalamnya. Mungkin untuk menemukan sesuatu, yang entah apa. “Apa kau juga begitu?”
“Kadang-kadang,” Indira menjawabnya. Ia tetap dalam penyelaman dengan sepasang matanya pada sepasang mata laki-laki itu.
“Tapi pada ujungnya, aku merasa sangat bersyukur, Tuhan memberiku jodoh lain, istriku,” kata Putu lagi. Indira tersenyum kali ini. Sepertinya ia telah menemukan sesuatu dalam penyelaman dengan sepasang matanya pada sepasang mata Putu. “Apa kau juga begitu?”
Indira mengangguk dengan pasti.
“Ya, aku sangat bersyukur,” kata Indira dengan ucapan yang mengalir tenang.
“Istriku, seorang yang baik, ia jauh lebih baik darimu,” Putu berkata lagi. Indira mengangkat alisnya. Raut wajahnya menyiratkan kesan keingintahuannya. “Apa suamimu juga seseorang yang baik, dan jauh lebih baik dariku?”
Indira mengangguk lagi dengan pasti.
“Dia lebih segala-galanya darimu,” kata Indira.
“Meski terkadang aku seringkali memikirkanmu, aku merasa, kita akan saling menyakiti jika kita menikah dulu,” ujar Putu. Ia menatap Indira dengan pandangan tajam. Indira membalasnya dengan pandangan yang tajam pula, tapi ada senyum pada bibir masing-masing. “Apa kau juga berpikir begitu?”
Sekali lagi Indira mengangguk dengan pasti.
“Ya, sulit membayangkan apa yang akan kita lakukan jika kita sedang tak terkendali, sedang belum menikah saja kita saling melempar gelas jika bertengkar. Mungkin kita sudah saling bunuh jika kita menikah. Aku bersyukur tak menikah denganmu. Sungguh, suamiku memberiku segalanya dengan segala kedamaian cintanya,” kata Indira. Kali ini ia mengamati cincin yang melingkari jari manisnya.
“Aku juga berpikir, mungkin saat ini kita sudah kehabisan cinta jika kita menikah. Kita saling mencintai, tapi kita menjadi sepasang musuh jika bersama,” kata Putu. Indira memandangi langit senja yang meredup. “Apa kau juga berpikir begitu?”
Indira mengangguk.
“Mungkin saat ini kita sedang saling mendoakan masing-masing cepat-cepat mati!”
Keduanya tertawa, Putu dan Indira.
“Ketika melihatmu tadi, aku teringat kembali tentang kita, dengan cinta kita yang sulit dimengerti. Cinta yang membuat kita menjadi sepasang musuh jika bersama,”
“Aneh memang,”
Senja yang indah meredup dan melengang perlahan. Sebentar lagi malam akan menelan senja bulat-bulat, menggantikannya dengan kegelapan penuh rahasia.
Seseorang mendekati mereka.
“Nek, ayo kita pulang?”
“Kamu sudah selesai?” tanya Indira.
“Ini cucumu?” sela Putu.
“Ya, ini cucuku yang terkecil,” sahut Indira.
“Kakek ini siapa, Nek?”
Tak ada jawaban. Setidaknya dalam segera.
“Kakek ini...dulu teman berburu kakekmu.”
“Oooh...”
Beberapa saat setelah Indira pergi bersama cucu yang datang menjemputnya, kakek tua itu pun kedatangan seseorang.
“Ayo kita pulang, kek!”