Hujan itu belum mau berhenti. Ia seperti sedang sangat bernafsu mencumbu bumi dengan curahan cinta tak terhingga hingga kuyup, dan mereka sungguh masyuk. Mungkin hujan itu begitu rindu pada bumi setelah berpisah sekian lama dan tak sanggup menahan kerinduan itu lebih lama lagi. Mungkin pula hujan sedih melihat bumi yang merana, kering, dan menahan sejuta kerinduan padanya. Jadilah kini mereka saling melepas rindu, berbagi cerita, bergumul, dan bercinta.
Biar mereka bercinta, pikirku. Mereka toh memang sepasang kekasih yang saling mencintai dan akan saling merindukan. Seperti saat aku merindukan kekasihku, maka aku akan membuka pintu untuk dia yang datang dengan rindunya, lalu kami saling melepas rindu, berbagi cerita, bercumbu, dan bercinta, hingga dahaga rindu terpuaskan.
Aku juga sedang merindukan kekasihku saat ini. Aku ingin dia datang dan kami saling melepas kerinduan. Hujan telah datang melepas kerinduannya pada bumi, bagaimana denganmu kekasihku, kapan kau akan datang?
Seperti bumi yang telah terpanggang kemarau sejak berbulan lalu, begitu pun dengan hatiku. Kemarau sudah beberapa waktu memanggang hatiku hingga kering berdebu. Kerinduanku pada kekasihku tak lagi tertahan setelah sekian waktu.
Sejak beberapa malam, aku memanggil kekasihku. Mungkin seperti bumi yang memanggil-manggil hujan dengan lantunan menyayat penuh kerinduan yang merana. Hari ini, hujan, kekasih bumi itu telah datang, dan mereka sedang saling bergumul melepas kerinduan.
Tapi kekasihku sepertinya belum akan datang. Ia menuliskan kerinduannya yang tak tertahan dalam selarik kalimat yang sendu. Ia membisikkan kerinduannya dengan desah yang berat, dan tak tertahan. Tapi entah apa yang menahannya hingga ia belum juga datang.
“Aku rindu sekali, tapi aku belum bisa datang, sungguh banyak yang harus kukerjakan,” begitu kekasihku memintaku untuk mengerti.
Kalimat itu terus berulang setiap ia menerima panggilanku. Baiklah, selalu akhirnya hanya kata itu yang kutinggalkan padanya, sepenuh kepercayaanku bahwa kerinduannya padaku tak tertahan, tapi tertahan oleh sesuatu yang harus dikerjakannya. Aku mengerti, seperti bumi yang mengerti bahwa, meski terkadang begitu lama, tapi hujan akan datang dengan segenap kerinduannya yang tak terbagi. Begitu juga dengan kekasihku, ia akan datang dengan segenap kerinduannya yang tak terbagi.
Hujan pergi dan matahari menghangatkan bumi yang kuyup oleh percumbuan yang masyuk. Tapi hujan tak lama pergi, ia datang dan datang lagi. Hingga ratusan kali hujan datang, kekasihku tak juga datang. Banyak yang harus dikerjakan adalah apa yang menahannya untuk datang dan menahan kerinduannya yang tak terbagi.
Tak terbagi. Aku mulai bertanya, benarkah begitu kerinduan kekasihku itu? Seperti kerinduan hujan pada bumi yang tak terbagi pada yang lain? Jika benar, seharusnya ia sudah datang seperti hujan pertama, dan sudah datang lagi, dan datang lagi.
Bumi hanya mengalunkan kerinduannya pada hujan tanpa pernah menanyakan apa yang dikerjakan selama hujan pergi, dan tak pula menanyakan apa yang menahan kerinduan jika hujan seperti baru akan datang dalam waktu yang lama. Bumi pun kurasa tak akan pernah menanyakan apakah hujan membagi kerinduannya pada yang lain.
Tapi aku mulai menanyakannya keutuhan kerinduan kekasihku, setelah hujan kesekian kali datang menemui kekasihnya, bumi. Benarkah tak terbagi, apa pula yang harus dikerjakannya sehingga menahannya untuk datang pada kekasihnya yang begitu merana merindukannya?
Aku sungguh tak bisa seperti bumi yang setia dan percaya bahwa pada kerinduan hujan hanya untuknya, tak terbagi untuk yang lain. Kerinduan hujan hanya jatuh ke bumi. Kerinduan kekasihku? Bisa jatuh di lain hati dan aku mulai merasakan sebuah firasat bahwa kerinduan kekasihku tak akan jatuh di hatiku lagi, untuk membasuh lara-lara, dan menyelimutkan cinta sempurna.
Hujan tak akan jatuh selain ke bumi, tapi kerinduan kekasihku bisa jatuh di lain hati.
“Apa yang kau kerjakan?” pertanyaanku membuat keheningan padanya. Ia diam dan lalu terbata-bata mengulang kalimat-kalimat yang pada mulanya cukup untuk meyakinkanku. Kalimat yang sekarang rapuh untuk ia berpijak.
Aku memecah keheningannya dengan ceritaku tentang hujan dan kekasihnya, bumi. Kerinduan mereka yang utuh. Bumi yang setia menanti, dan kerinduan hujan yang tak pernah terbagi, karena kerinduan hujan hanya jatuh ke bumi. Hujan seringkali terlalu lama datang, tapi hujan tetap datang. Hujan tidak berjanji untuk datang, tapi hujan datang.
“Aku ingin menjadi bumi,” aku menegaskan pada kekasihku, “kekasih bumi adalah hujan. Kau bukan hujan, kau entah apa, tapi bukan hujan. Aku tahu kau tak merindukanku dan tak akan datang lagi padaku. Hujan pergi untuk mengumpulkan cinta untuk bumi dan mencurahkannya pada saat ia datang kembali. Tapi sepertinya kau pergi untuk tak kembali lagi, karena kau bukan hujan. Sungguh, aku, si bumi ini, akan menemukan kekasih sejatinya, hujan, pada suatu hari. Berjanjilah untuk tak datang lagi, aku tak akan menunggu siapa pun yang datang selain hujan.”
Kekasihku terdiam di sana. Entah apa yang ia pikirkan, entah apa yang ia rasakan.
“Aku...” katanya mengambang.
“Bukan hujan,” aku menegaskan.
Jalinan yang membuatku bisa mendengar lirih suaranya terputus, tak terdengar lagi. Seperti jalinan rinduku yang terasa ikut terpenggal dan aku tak ingin merasakannya lagi. Entah apa yang ia pikirkan, entah apa yang ia rasakan.
Aku kembali memandangi hujan yang mencurahkan segenap kerinduan penuh cinta pada bumi yang kuyup, dan mereka sungguh masyuk. Aku, si bumi ini, juga akan menemukan kekasih sejatinya, hujan, pada suatu hari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI