Bumi hanya mengalunkan kerinduannya pada hujan tanpa pernah menanyakan apa yang dikerjakan selama hujan pergi, dan tak pula menanyakan apa yang menahan kerinduan jika hujan seperti baru akan datang dalam waktu yang lama. Bumi pun kurasa tak akan pernah menanyakan apakah hujan membagi kerinduannya pada yang lain.
Tapi aku mulai menanyakannya keutuhan kerinduan kekasihku, setelah hujan kesekian kali datang menemui kekasihnya, bumi. Benarkah tak terbagi, apa pula yang harus dikerjakannya sehingga menahannya untuk datang pada kekasihnya yang begitu merana merindukannya?
Aku sungguh tak bisa seperti bumi yang setia dan percaya bahwa pada kerinduan hujan hanya untuknya, tak terbagi untuk yang lain. Kerinduan hujan hanya jatuh ke bumi. Kerinduan kekasihku? Bisa jatuh di lain hati dan aku mulai merasakan sebuah firasat bahwa kerinduan kekasihku tak akan jatuh di hatiku lagi, untuk membasuh lara-lara, dan menyelimutkan cinta sempurna.
Hujan tak akan jatuh selain ke bumi, tapi kerinduan kekasihku bisa jatuh di lain hati.
“Apa yang kau kerjakan?” pertanyaanku membuat keheningan padanya. Ia diam dan lalu terbata-bata mengulang kalimat-kalimat yang pada mulanya cukup untuk meyakinkanku. Kalimat yang sekarang rapuh untuk ia berpijak.
Aku memecah keheningannya dengan ceritaku tentang hujan dan kekasihnya, bumi. Kerinduan mereka yang utuh. Bumi yang setia menanti, dan kerinduan hujan yang tak pernah terbagi, karena kerinduan hujan hanya jatuh ke bumi. Hujan seringkali terlalu lama datang, tapi hujan tetap datang. Hujan tidak berjanji untuk datang, tapi hujan datang.
“Aku ingin menjadi bumi,” aku menegaskan pada kekasihku, “kekasih bumi adalah hujan. Kau bukan hujan, kau entah apa, tapi bukan hujan. Aku tahu kau tak merindukanku dan tak akan datang lagi padaku. Hujan pergi untuk mengumpulkan cinta untuk bumi dan mencurahkannya pada saat ia datang kembali. Tapi sepertinya kau pergi untuk tak kembali lagi, karena kau bukan hujan. Sungguh, aku, si bumi ini, akan menemukan kekasih sejatinya, hujan, pada suatu hari. Berjanjilah untuk tak datang lagi, aku tak akan menunggu siapa pun yang datang selain hujan.”
Kekasihku terdiam di sana. Entah apa yang ia pikirkan, entah apa yang ia rasakan.
“Aku...” katanya mengambang.
“Bukan hujan,” aku menegaskan.
Jalinan yang membuatku bisa mendengar lirih suaranya terputus, tak terdengar lagi. Seperti jalinan rinduku yang terasa ikut terpenggal dan aku tak ingin merasakannya lagi. Entah apa yang ia pikirkan, entah apa yang ia rasakan.