Mohon tunggu...
Adri Wahyono
Adri Wahyono Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Pemimpi yang mimpinya terlalu tinggi, lalu sadar dan bertobat, tapi kumat lagi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan, Bumi, Aku, dan Kekasihku

3 Februari 2016   21:20 Diperbarui: 3 Februari 2016   21:35 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ilustrasi

Hujan itu belum mau berhenti. Ia seperti sedang sangat bernafsu mencumbu bumi dengan curahan cinta tak terhingga hingga kuyup, dan mereka sungguh masyuk. Mungkin hujan itu begitu rindu pada bumi setelah berpisah sekian lama dan tak sanggup menahan kerinduan itu lebih lama lagi. Mungkin pula hujan sedih melihat bumi yang merana, kering, dan menahan sejuta kerinduan padanya. Jadilah kini mereka saling melepas rindu, berbagi cerita, bergumul, dan bercinta.

Biar mereka bercinta, pikirku. Mereka toh memang sepasang kekasih yang saling mencintai dan akan saling merindukan. Seperti saat aku merindukan kekasihku, maka aku akan membuka pintu untuk dia yang datang dengan rindunya, lalu kami saling melepas rindu, berbagi cerita, bercumbu, dan bercinta, hingga dahaga rindu terpuaskan.

Aku juga sedang merindukan kekasihku saat ini. Aku ingin dia datang dan kami saling melepas kerinduan. Hujan telah datang melepas kerinduannya pada bumi, bagaimana denganmu kekasihku, kapan kau akan datang?

Seperti bumi yang telah terpanggang kemarau sejak berbulan lalu, begitu pun dengan hatiku. Kemarau sudah beberapa waktu memanggang hatiku hingga kering berdebu. Kerinduanku pada kekasihku tak lagi tertahan setelah sekian waktu.

Sejak beberapa malam, aku memanggil kekasihku. Mungkin seperti bumi yang memanggil-manggil hujan dengan lantunan menyayat penuh kerinduan yang merana. Hari ini, hujan, kekasih bumi itu telah datang, dan mereka sedang saling bergumul melepas kerinduan.

Tapi kekasihku sepertinya belum akan datang. Ia menuliskan kerinduannya yang tak tertahan dalam selarik kalimat yang sendu. Ia membisikkan kerinduannya dengan desah yang berat, dan tak tertahan. Tapi entah apa yang menahannya hingga ia belum juga datang.

“Aku rindu sekali, tapi aku belum bisa datang, sungguh banyak yang harus kukerjakan,” begitu kekasihku memintaku untuk mengerti.

Kalimat itu terus berulang setiap ia menerima panggilanku. Baiklah, selalu akhirnya hanya kata itu yang kutinggalkan padanya, sepenuh kepercayaanku bahwa kerinduannya padaku tak tertahan, tapi tertahan oleh sesuatu yang harus dikerjakannya. Aku mengerti, seperti bumi yang mengerti bahwa, meski terkadang begitu lama, tapi hujan akan datang dengan segenap kerinduannya yang tak terbagi. Begitu juga dengan kekasihku, ia akan datang dengan segenap kerinduannya yang tak terbagi.

Hujan pergi dan matahari menghangatkan bumi yang kuyup oleh percumbuan yang masyuk. Tapi hujan tak lama pergi, ia datang dan datang lagi. Hingga ratusan kali hujan datang, kekasihku tak juga datang. Banyak yang harus dikerjakan adalah apa yang menahannya untuk datang dan menahan kerinduannya yang tak terbagi.

Tak terbagi. Aku mulai bertanya, benarkah begitu kerinduan kekasihku itu? Seperti kerinduan hujan pada bumi yang tak terbagi pada yang lain? Jika benar, seharusnya ia sudah datang seperti hujan pertama, dan sudah datang lagi, dan datang lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun