Adri Wahyono No. 7
James? Mr. J? Bagaimana ia bisa menjadi dokter Jalal dengan aku sama sekali tak mengenali, paling tidak, suaranya? Atau gerak-gerik tertentu – apa pun – yang khas, yang kukenali dari Mr.J. Ini saking bodohnya aku, atau karena kelihaiannya merencanakan dan menjalankan skenario? Apa karena bermacam suntikan dan keterangan dia tentang ‘penyakitku’ yang namanya begitu rumit sampai harus disingkat saja untuk memudahkan menyebut namanya? Lalu, ia benar-benar seorang dokter atau...
Bagaimana ia bisa berganti wajah, mengganti karakter suara dan merubah semua tanpa meninggalkan sedikit pun karakter Mr. J yang mungkin membuatnya bisa kukenali. Bagaimana caranya ia bisa bermain secemerlang itu? Dan, apa tujuan terbesar dari skenario itu, tujuan dari investasi besarnya pada perusahaan Nugie?
Kepalaku terasa mendenyut ngilu karena otakku bekerja terlalu keras, tapi tak juga sanggup untuk menemukan jawabannya, karena bagaimana pun jawaban itu memang tak pernah ada. Sementara pistol itu kini teracung tepat di depan wajahku. Jarak kematian hanya tinggal satu tarikan pelatuk saja, tarikan yang akan mengantarku ke, surga?
Hah, neraka pastinya. Gie, Ran, dan orang yang mengacungkan pistol ini telah membuatku berkubang sekian lama dalam drama yang membuatku kebingungan, bahkan hingga saat akhirnya ini sudah tiba di ujungnya. Baiklah, apa yang harus kutakutkan tentang neraka yang belum kutahu itu, toh selama ini mereka sudah ‘menciptakan’ neraka buatku. Satu skenario dengan banyak kepentingan dari mereka yang bersepakat menjalankannya.
“Baiklah, kau menang. Hadiah yang pantas untuk pemancing yang sabar. Umpanmu adalah umpan yang sangat dibutuhkan ikan, dan ikan tak pernah akan berpikir apa pun kecuali ketika sentakan menyadarkannya di saat yang sudah sangat terlambat,” kataku menyela deru nafas James yang menyeringai dengan pistol teracung.
James tertawa lebar.
“Kau memang cerdas. Sangat cerdas. Tapi kau bukan apa-apa jika berhadapan denganku,” kata James penuh percaya diri, “nyatanya, kau tak pernah menyangka, bukan?”
“Sebelum kau antar aku ke neraka yang sesungguhnya, aku ingin tahu, apa sebenarnya yang kau inginkan dari sandiwara kejam yang tampaknya sangat kau nikmati ini. Aku tak tahu dengan Nugie, dengan Ran, tapi tentang kesalahan apa yang kulakukan padamu, maka aku pantas untuk kau buat gila dengan suntikan-suntikan, pencucian otakku dengan diagnosis-diagnosis palsu tentang banyaknya kepribadian dalam diriku, dan sebentar lagi akan kau pungkasi dengan mencecerkan otakku yang sudah kau buat gila. Jika sedikit kau beritahu, dan kudengar alasan yang bisa kuterima, mungkin aku bisa sedikit mengurangi permintaan hukuman Tuhan untukmu, yang akan kupanjatkan dari neraka,” kataku lagi dengan pelan tapi penuh tekanan.
Aku harus sedikit meronta melancarkan perang mental dengan daya tersisa untuk sebuah peluang menyelamatkan diri, meskipun ini serupa melewati lubang jarum. Jika aku akan tetap mati oleh satu peluru di pistol itu, setidaknya aku melawan, agar di neraka aku tak disalahkan setan.