Senja adalah tepi…pembatas siang dengan malam. Jingga tak ubahnya tirai kusam penyekat ruang-ruang. Terhampar padanya lukisan misteri alam yang sulit dicerna maknanya.
Senja adalah namaku, nama yang diberikan untuk kelahiran Jabang Bayi perempuan pada suatu senja, dimana langit berwarna jingga, menghantar mentari ke peraduannya.
Senja Lembayung Jingga…begitu namaku terangkai. Merekam memori alam saat aku melihat inilah dunia ! melukis apa yang tersaji kala tangisanku kali pertama terdengar.
Ibu mengambil nama itu dari rangkaian ilham yang terbisikkan alam. Bapak memandangi langit muram di cakrawala barat untuk meredam kegelisahannya ketika Ibu bertaruh nyawa saat melahirkanku.
Senja adalah aku, ketika aku larut dalam kayuhan kenikmatan berbicara pada nurani. Aku merasakan dunia yang indah. Senja tak pernah melewatkan senja, ketika nama itu merasuk dalam hatiku. Saat senja aku merasakan keberadaanku dan keberadaan Sang Pelukis senja.
“ Senja Lembayung Jingga !” aku mulai mendengar namaku disebut-sebut Guru Taman Kanak-kanak. Aku bahagia sekali mendengar namaku sendiri. Beberapa teman Ibu yang sama-sama mengantarkan anaknya ke sekolah seperti Ibu, memuji-muji nama dan kecantikanku, dan aku tumbuh menjadi gadis kecil yang penuh percaya diri.
“ Senja Lembayung Jingga !” dari sejak kelas satu hingga kelas enam SD, aku sangat menyukai saat Guru mengabsen murid-muridnya, hingga tiba saat namaku disebutkan. Aku mulai membandingkan namaku dengan nama mereka. Hanya aku yang namanya begitu indah.
“ Untuk Senja Lembayung Jingga…” itu bunyi kepala surat cinta yang dikirimkan seorang teman laki-laki saat aku kelas dua SMP. Aku tak tertarik dengan dia, tapi aku senang membaca dan mengagumi namaku sendiri yang ditulis dengan sangat bagus. Aku tak menerima cinta monyetnya, tapi aku menyimpan surat cintanya, karena disitu ada namaku.
“ Namamu indah sekali…” kata Jelita. Dia seorang teman pertama di SMA, dan dia mengatakan itu pada saat kami berkenalan. Jelita adalah seorang gadis cantik, baik perangainya, ramah dan cerdas. Aku duduk sebangku dengannya, dan aku sangat menikmati ini karena aku merasa aku dan Jelita menjadi bunga yang bersanding. Dua bunga cantik yang bernama sangat indah.
Aku sering mengajak Jelita untuk menikmati senja bersama. Aku bercerita banyak padanya tentang segala sesuatu yang menyenangkan hatiku tentang senja. Jelita mendengarkan dengan buku ditangannya, atau secarik kertas. Ya, dia tak sepertiku yang terus menerus menghirup udara senja dan menikmatinya saja, tapi selalu ada yang dikerjakannya.
Kadangkala dia tiba-tiba menyodorkan kertas yang ternyata telah berisi puisi yang diltuliskannya. Seringkali tentang senja dan aku sangat menyukainya.
“ Boleh puisi ini untukku ?” aku bertanya. Jelita mengangguk dan tersenyum.
“ Aku akan menyimpannya…kelak akan kubuat sebagai kenangan yang selalu mengingatkanku pada sahabatku Jelita dan senja yang indah ini…”
“ Simpanlah…!”
“ Tapi kamu tak punya sesuatu dariku agar kamu tak melupakanku ?”
“ Kamu bisa membuat puisi juga atau apa saja, nanti biar kusimpan !” begitu kata Jelita.
Aku mengeluh, aku tak bisa menulis puisi seperti dia.
“ Aku tak bisa menulis puisi Jelita…”
Jelita tersenyum, “ Kamu mengagumi senja bukan ? tuliskan apa saja yang kamu rasakan dari senja sebagai puisi…!”
Aku mencobanya, tapi tak bisa. Aku merasakan segala keindahan tentang senja, tapi aku tak mampu menuliskannya menjadi puisi atau apa saja seperti Jelita. Itulah perbedaan aku dengan Jelita. Aku dan dia memang dua bunga indah yang bersanding, tapi bunga Jelita jauh lebih memancar.
Mereka memandang Jelita dengan kekaguman akan kecantikannya dalam banyak hal. Nama harumnya sudah seringkali membuat nama sekolah terbias harumnya. Denganku aku mulai tak yakin tentang pandangan mereka. Mungkin sebatas kekaguman yang takkan pernah berarti apa-apa. Karena sekali waktu aku pernah mendengar kata-kata sinis mereka tentangku.
Dan…sesuatu yang tak terbayangkan sejak aku mulai mengagumi namaku sendiri adalah saat aku tak menemukan nama indahku, dalam daftar kelulusan. Rasanya gelap dunia ini, sunyi tanpa kesan apa-apa seperti ribuan hari-hariku sebelumnya.
Jelita memelukku. Hanya dia yang tetap melihatku, melihat aku apa adanya.
“ Senja masih akan banyak menawarkan keindahannya…” itu kata-kata lembut dari Jelita.
-----------ooo000ooo---------
Senja datang lagi.
Aku duduk melihat cakrawala barat nan indah. Jingga memperlihatkan langit senja yang menakjubkan. Kekagumanku kini bukan lagi namaku, tapi senja ini dan puisi yang pernah dituliskan Jelita bertahun lalu saat duduk bersamaku disini menikmati senja.
Ada sesuatu yang dituliskannya yang baru saja bisa kucerna dengan baik, bisa aku mengerti pesannya. Sudah sangat terlambat….
Senja Lembayung Jingga
Duduk aku disini, menikmati indahnya senja
Aku tak sendiri, aku berteman seorang putri senja
Yang tak pernah habis mengagumi senja…
Dia sahabatku
Dia yang baik
Dan dia yang cantik
Senja adalah saat yang selalu dinantinya
Saat dia menemukan dirinya
Saat dia melihat dunia
Aku selalu iri padanya, si putri senja
Yang begitu dalam menghayati indahnya remang senja
Senja Lembayung Jingga…
Itulah untaian indah namanya
Dia selalu mengagumi senja dan mengagumi namanya
Dia selalu menyandingkannya saat bercumbu dengan senja
Tak ada yang selalu ditunggunya
Selain indahnya senja
Tak ada yang lebih dikaguminya
Selain dari Senja Lembayung Jingga
Untaian indah namanya
Aku adalah seorang sahabat baginya
Yang selalu ingin menyayanginya
Padanya aku ingin ada saat tiba
Dia tak hanya menunggu senja
Mengagumi Senja Lembayung Jingga
Untaian indah namanya
Aku ingin dia mewarnai hari-harinya
Hingga saat senja tiba
Dia akan mendapatinya jauh lebih mempesona
Dan aura senja yang memancar darinya
Bersanding menjadi sempurna
Sebagai Senja Lembayung Jingga…
“ Terima kasih Jelita, kalau saja aku tahu bahwa saat itu kamu sangat menginginkan aku mengerti makna puisimu, bahwa kamu ingin aku tak membiarkan waktu berlalu hanya untuk mengagumi diriku dan namaku, tanpa berbuat apa-apa selain dari pada itu…”
“ Dimanapun kamu berada sekarang, aku akan tetap mengenangmu sebagai seseorang yang telah membukakan mata hatiku, menyadarkanku dari lamunan yang tak pernah berhenti, menyadarkanku bahwa aku harus membuat senjaku sendiri yang terindah, bukan menunggu senja datang, bahwa aku harus mencari, agar aku bisa mengerti apa yang terlukis pada hamparan lembayung jingga itu…terima kasih bunga Jelitaku…”
Magelang, Mei 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H