Jakarta, Mei 2024 -Â Dalam wawancara singkat bersama seorang Pengamat Senior Pasar Modal Nasional, Edhi Adhyanugraha Pranasidhi (Edhi) menyampaikan mengenai kondisi makroekonomi khususnya di negara Amerika Serikat (AS) serta kebijakan The Fed dan pengaruhnya terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Indonesia.
- Bagaimana tanggapan Anda (Edhi) terkait perkembangan makro ekonomi terbaru khususnya dari Amerika Serikat (AS) ?
Perkembangan terkini dari rilis data makro ekonomi dari AS selalu mengejutkan dan tentunya terkadang merubah paradigma dan cara pandang kita dalam menentukan kebijakan berinvestasi baik itu dipasar saham maupun dipasar komoditas dan uang. Kita baru saja membahas tentang kemungkinan bahwa the Federal Reserve atau bank sentral AS tampaknya tidak akan dapat menurunkan suku bunga selama tahun 2024 karena keukeuhnya laju inflasi pada level sekitaran 3% atau yang masih diatas target the Fed pada kisaran 2%.
Tahan bantingnya laju inflasi di AS tentunya semua tahu karena hebatnya pertumbuhan tenaga kerja disana yang setiap bulannya rata-rata menambah 242 ribu tenaga kerja baru selama 12 bulan terakhir. Namun apa yang kita bahas sebelum pengumuman data tenaga kerja disektor selain pertanian (non-farm payrolls/NFP) yang dirilis pada 3 Mei lalu, tampaknya harus berubah secara signifikan.
Menurut data terbaru, ekonomi AS pada April lalu hanya menambah 175 ribu tenaga kerja baru atau jauh dibawah konsensus ekonom pada angka 240 ribu dan juga dibawah rata-rata bulanan pada 242 ribu dalam 12 bulan terakhir. Penurunan terjadi terutama karena pemerintah federal AS hanya menambah delapan ribu tenaga kerja baru atau jauh dibawah rata-rata bulanan sebanyak 55 ribu dalam 12 bulan terakhir. Disisi lain, penambahan tenaga kerja disektor konstruksi juga gak kemana mana, sementara perubahan sedikit lebih rendah terjadi disektor teknologi informasi, pertambangan, ekstrasi minyak bumi dan gas, layanan professional dan bisnis serta rekreasi dan perhotelan (pariwisata).
- Apa yang menarik dari data tersebut menurut Anda (Edhi) ?
Yang menarik untuk dicermati tentunya adalah tiga sektor utama seperti teknologi informasi (IT), pariwisata dan gas dan minyak bumi. Sektor IT: pertumbuhan tenaga kerja baru yang melandai di sektor ini tentunya idak mengejutkan setelah mengalami booming tenaga kerja selama tahun-tahun berakhirnya pandemi Covid-19. Penurunan tenaga kerja baru disektor ini juga diperkirakan akan diperparah dengan semakin masifnya penggunaan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang dapat menggantikan pekerjaan yang slama ini dilakukan oleh manusia.
Sektor gas dan minyak bumi: Melemahnya Harga minyak bumi bulan April lalu sebanyak 7% kelevel $79,33 perbarrel dan kemudian pada 3 Mei kemarin turun lagi ke level $77,99 per barrel ditengarai akan menurunkan keinginan perusahaan-perusahaan disektor ini untuk menambah tenaga kerja baru dan jika Harga minyak bumi turun terus jelang pilpres AS pada 5 November mendatang akan tidak menutup kemungkinan akan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK).
Sektor rekreasi dan hospitality (pariwisata). Sektor ini merupakan sektor yang paling banyak mempekerjakan tenaga kerja baru dan juga menyumbang kepada belanja konsumen yang besar yang selama ini memberikan kontribusi kepada laju inflasi. Jika tenaga kerja baru disektor ini menurun maka tentunya tingkat inflasi juga akan menurun.